;

Sabtu, 31 Maret 2012

PENGETAHUAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Sabtu, 31 Maret 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam memiliki ajaran yang lengkap, meyeluruh dan sempurna yang mengatur tata cara kehidupan manusia, baik ketika beribadah maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian Islam merupakan agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga.
            Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yamg digali dari berbagai disiplin ilmu.
Di dalam Alquran, misanya, dijumpai ayat-ayat menegenai proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi manusia untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan ilmu anatomi manusia. Begitu pula utuk membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian. Dengan demikian untuk memahami Islam secara holistik diperlukan adanya saintifikasi Islam, yakni proses mengolaborasikan nila-nilai normatif Islam ke dalam formulasi ilmu dan tidak hanya sekedar memahami Islam secara teologis normatif.
            Islam sejatinya menuntut pengembangan ilmu dan teknologi yang harus menyentuh kepentingan mengangkat harkat dan martabat kehambaan kepada Allah dan membenarkan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Mutlak adanya, bahwa peralihan ilmu dan teknologi dalam persepsi Islam, harus selalu bergandengan dengan aspek ketauhidan. Hal ini didukung oleh sebuah hadis Rsulullah SAW. yang berujar, “Barangsiapa ditanya tentang ilmu dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dirantai oleh api neraka”. Kemudian dikukuhkan pula oleh sebuah diktum Nabi yang memandang betapa pentingnya ilmu dan teknologi. Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka wajib dengan ilmu. Atau yang menghendaki akhirat juga wajib dengan ilmu. Bagi yang menghendaki keduanya, harus pula dengan ilmu. Oleh karena itu wajar jika derajat pencapaian iptek, menurut Islam, berada pada posisi yang terhormat dan dimuliakan oleh Allah. Untuk itulah disini kami akan membahas lebih jauh mengenai pengetahuan itu sendiri dalam pandangan Islam.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Teori Pengetahuan Menurut Islam
2. Konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam
a. Kedudukan Ilmu Pengetahuan
b. Sumber Ilmu Pengetahuan
c. Metode Keilmuan
d. Etika Islam dalam pengembangan Iptek
3. Agama dan Ilmu Pengetahuan

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Pengetahuan Menurut Islam

“Timur ya timur dan Barat ya barat” (Rudyard Kipling)
Wawasan tentang Ketuhanan

Dengan kata-kata diatas, kipling hendak menunjukan bahwa unsur-unsur yang membentuk peradaban Timur dan barat sangatlah berbeda dan saling bertentangan antar satu dan yang lainnya, sehingga kecil sekali kemungkinan yang membuat keduanya bergabung dan membentuk suatu kesatuan. Sebuah contoh untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan antar keduanya itu diberikan oleh teori pengetahuan menurut islam, yang berbeda secara mendasar dengan teori pengetahuan di barat. Yang pertama adalah konsepsi spiritual tentang manusia dan alam tempat ia hidup, sedangkan yang kedua adalah sifatnya sekular dan skeptis terhadap wawasan tentang ketuhanan.
Wawasan tentang Ketuhanan yang telah menghilang dari konsepsi pengetahuan barat tentang pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori islami tentang pengetahuan. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir islami dari cara barat, adalah keyakinan tak tergoyahkan dari cara bepikir bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah Allah.
Semua filsuf muslim yang berpendidikan seperti Alfarabi, Ibnu Syna, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dll, semuanya sependapat bahwa sumber segala pengetahuan adalah Yang Ilahi.[2]

B.     Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam
     
            Pada era globalisasi saat ini, Ilmu pengetahuan umum memang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan didunia, ilmu agama yang tidak dilengkapi oleh ilmu pengetahuan umum diibaratkan seperti orang yang pincang, tempat yang dituju jelas namun kaki menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian juga ketika ilmu pengetahuan tersebut jika tidak dilengkapi dengan ilmu agama maka bagaikan orang yang buta, karena tidak tahu arah tujuan hidup yang sesungguhnya.

            Dengan demikian, harus disadari bersama bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan itu harus berimbang keadaanya. Tapi, pada kenyataanya umat Islam banyak yang lemah dalam ilmu pengetahuan umum. Menurut para peneliti ahli ilmu Al-Qur'an, tidak kurang dari 60% dari ayat-ayat Al-Qur'an membicarakan tentang alam semesta (ilmu pengetahuan) dan hanya 40% dari ayat Al-Qur'an membicarakan tentang hukum, ibadah, tarikh, dan muamalah. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya bisa jauh lebih unggul dalam ilmu pengetahuan umum dari orang-orang Nasrani, karena sejak diturunkannya Al-Qur'an, Allah sudah mengajari umat Islam tentang ilmu pengetahuan.[3]
            Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Alquran adalah konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan mendasar dari Alquran pentingya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa Alquran menyebut akar kata “ilmu” dan kata turunannya tidak kurang dari 744 kali.[4]
Konsep ilmu membedakan pandangan dunia islam dari cara pandang dan ideologi lainnya. Tak ada pandangan dunia lain yang membuat pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial serta membedakan arti moral dan religius. Karenanya ilmu sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam lapisan masyarakat dan mengungkap dirinya dalam upaya intelektual.
            Sejak awal, Islam mengisyaratkan bahwa menuntut Ilmu kewajiban agama artinya menuntut ilmu pengetahuan memang benar-benar diwajibkan bagi umat islam. Menjadi seorang muslim berarti terlibat aktif dalam pelahiran, pemrosesan dan penyebaran ilmu.
            Islam juga menghendaki umatnya untuk memiliki ilmu pengetahuan, baik ilmu pegetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Dalam pandangan Islam, ilmu itu tergolong suci. Ilmu merupakan barang yang sangat berharga bagi kehidupan seseorang, Ilmu itu bagaikan lampu atau cahaya. Bahwa tidak dapat seseorang berjalan di malam yang gelap, kecuali dengan lampu. Demikian pula halnya, tidak dapat seseorang membedakan yang baik dengan yang buruk, kecuali dengan ilmu.[5]
Konsep ilmu bukanlah suatu gagasan yang terbatas dan elitis. Ilmu merupakan pengetahuan distributive. Ilmu bukan monopoli Individu, kelompok, atau jenis kelamin. Ilmu juga tak terbatas hanya pada suatu disiplin tertentu tetapi mencakup dimensi pengetahuan dan seluruh spectrum fenomena-fenomena alamiah. Sungguh islam menempatkan ilmu dengan adil.[6]
Berdasarkan uraian diatas, maka penjelasan ilmu pengetahauan dalam pandangan islam meliputi: kedudukan ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode keilmuan dan etika islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
1. Kedudukan ilmu pengetahuan
            Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang diberikan kepada para ilmuan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW. berupa kunci ilmu, yakni” membaca. Tercermin dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal. Tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan menyesatkan serta tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia masih hidup (long life education consep). Hal ini menunjukan bahwa konsep pembelajaran sebagai suatu proses pembentukan dan perbaikan diri secara dinamis dan kontinyu merupakan acuan yang dikehendaki dalam Islam. Dengan sistem pendidikan seumur hidup, maka akan lahir good citizen (warga negara yang baik) yang memiliki kepribadian utuh.
            Perlu kita ketahui, bahwa dalil-dalil keutamaan ilmu dalam Al-Qur’an banyak sekali. Di antaranya adalah firman-Nya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS Al-Mujadalah [58]: 11)
Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakan, “Para ulama memiliki derajat di atas orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun.”[7]
            Realita berbicara, Alquran sebagai kitab panduan umat manusia memuat ratusan ayat yang mengungkapkan tentang ilmu, mengajak manusia untuk berfikir dan melakukan penalaran (mengamati, memeperhatikan, memikirkan dan menyelidiki dengan seksama), serta memberikan penghormatan orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Ini merupakan bukti otentik yang tak dapat diragukan lagi akan pentingya kedudukan ilmu dalam Islam.
             Selain itu Alquran tidak bertentangan dan tidak akan berseberangan dengan hakikat ilmu pengetahuan. Akal manusia akan selalu didorong oleh Alquran untuk mendalami ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedudukan ilmu pengetahuan dan agama dalam perspektif Islam bersifat intergral, bukan dikotomis.
            Dari kolaborasi antara ilmu pengtahuan dan agama, diharapkan selain manusia mampu membedakan fakta ilmiah dengan teori ilmiah, juga yang terpenting mampu menemukan bagaimana konsep nilai, teori atau paradigma itu dalam perspektif Alquran.
            Secara singkat, dibawah ini akan diuraikan kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
a. Manusia diangkat sebagai khalifatulllah (penguasa), dan dibedakan dari makhluk lain karena ilmunya. Alquran menceritakan bagaimana Nabi Adam diberi pengetahuan tentang konsep totalitas dan malaikat disuruh sujud kepadanya. Beberapa kali Allah mengaitkan  penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tugas manusia di dunia harus dapat menggali potensi diri (menguasai ilmu dan teknologi), dengan tujuan agar dapat memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia.
c. Alquran diturunkan dengan ilmu Allah, dan hanya dapat direnungkan atau dimengerti maknanya oleh orang-orang yang berilmu. Untuk memperoleh petunjuk dari Alquran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan, tetapi juga ilmu pengetahuan.
d. Alquran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki ilmu pengetahuan.
e. Allah melarang manusia untuk mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya. Di sini Islam menuntut agar manusia tidak bersikap dan bertindak kecuali berdasarkan ilmu.[8]
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
Berkaitan dengan masalah sumber ilmu pengetahuan, Louis O. Kattsof mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia ada lima, yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan  metode ilmiah.[9]
Sedangkan jika dikembalikan kepada Al-quran Ada empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain:
a. Alquran dan Assunnah. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu pengetahuan.
b. Alam semesta. Alquran menyuruh manusia  memikirkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, hujan dan halilintar, langit dan bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan logam, serta yang lainnya.
c. Manusia adalah sumber ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan”.
d. Sejarah umat manusia. Banyak dari sisi kehidupan merupakan kelanjutan dari produk sejarah. Meskipun Alquran bukan buku sejarah, akan tetapi di dalamnya termuat hukum sejarah, hukum Allah tentang sejarah kemanusiaan. Di dalamnya juga termaktub pola sejarah kemanusiaan dari zaman Nabi Adam hingga sejarah manusia akhir zaman.
3. Metode keilmuan
            Banyak ayat-ayat al-quran yang memerintahkan agar manusia mengembangkan metode ilmiah (keilmuan). Dengan perintah-Nya, manusia dierintahkan untuk menggunakan pikiran, melatih metode berpikir atau dalam bahasa keilmuannya mengembangkan metode ilmiahnya. Metode ilmiah terdiri dari dua pendekatan yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan induktif.[10] Perintah Allah untuk memperhatikan kenyataan alam dan proses kejadian itu adalah perintah mengembangkan metode induktif.
Ilmu pengetahuan dimulai dari pengetahuan atau pengalaman setelah melalui berbagai proses, seperti perhatian, penalaran dan penelitian. Seterusnya dirumuskan menjadi satu teori yang bersifat sistematis, rasional, empiris dan kualitatif; barulah pengetahuan itu dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tak lagi sederhana. Tiap aktivitas manusia menghasilkan ilmu pengetahuan, karena membutuhkan penalaran akal yang terus menerus sampai terbukti kebenaran teori.
Kebanyakan manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh melalui indera yang dimiliknya. Dengan inderanya, manusia mengenal hal-hal yang ada disekitarnya. Manusia tahu bahwa api itu panas dan es itu dingin, tahu bahwa terjadi pergantian siang dan malam. Selain itu, manusia juga tahu akan hukum atau aturan yang tetap. Pengetahuan itu, meskipun tidak disadari dan seringkali tidak dirumuskan dengan kata-kata yang jitu dan tepat, tetapi diakui kebenarannya, serta dipergunakan dalam hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan berjalan menurut metode tertentu, karena pengetahuan tertentu memiliki metode. Metode yang dimaksud adalah metode keilmuan, atau yang biasa disebut metode ilmiah. Ia merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.
           
            Untuk memperoleh pengetahuan, manusia bisa menempuh melalui dua cara, yaitu:
a. Jalur ilahiah (Revealed Knowledge)
Manusia memperoleh ilmunya dari informasi-informasi Ilahiyah (ilmu pengetahuan yang diwahyukan) melalui kitab suci Alquran secara langsung, siap pakai dan tanpa harus menggunakan prosedur metode ilmiah. Lewat jalur Ilahiyah manusia dapat memeperoleh berbagai pengetahuan, baik yang bersifat pengetahuan empiris  maupun non empiris (gaib). Masalah non empiris misalnya tentang Tuhan, Malaikat dan Setan, Surga dan Neraka. Contoh tersebut semuanya berada diluar jangkauan pengalaman manusia dan Diluar penjelajahan ilmu. Sedangkan masalah empiris misalnya mengenai proses kejadian manusia.
Contuh lain: “Akan Kami tunjukan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami disegenap penjuru ufuk dan juga di dalam diri mereka sendiri”[11]
“sesungguhnya didalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam terdapat kekuasaan kami bagi orang-orang yang berakal”.[12]
“Apakah mereka tidak meneliti bagaimana unta diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaiman ia ditegakan dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”.[13]
b. Jalur Insaniyah (Acquired Knowledge)
Melalui jalur ini manusia mendapat ilmunya setelah melalui proses pencarian ilmu dengan berolah fikir, berolah jiwa berolah indera, maupun dengan cara berolah raga. Dengan olah fikir dan olah jiwa manusia memperoleh filsafat, dengan ruang lingkup yang menyeluruh, mendasar meskipun masih bersifat spekulatif. Disamping filsafat, manusia juga memperoleh logika, dengan berolahraga manusia memperoleh ilmu beladiri, ilmu kesehatan dan sebagainya.
Islam tidak mengenal sampai dimana batas ilmu pengetahuan yang bisa dicapai manusia. Karena itu, perintah untuk mencari ilmu tidak terbatasi oleh waktu, tempat maupun jenis. Menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia sepanjang hidupnya dari sejak lahir sampai akhir hayat.
4. Etika Islam dalam Pengembangan Iptek
Pada abad ke-21, ilmu pengetahuan dan teknologi masih akan menjadi faktor dominan dalam kehidupan manusia. Laksana kekuatan raksasa, ilmu pengetahuan bisa secara potensial sangat destruktif tergantung bagaimana manusia mengolah dan mengarahkannya. Teknologi juga akan berbahaya jika berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi untuk tujuan yang mengkhawatirkan. Contohnya kasus yang baru terjadi ialah pembuatan blog pembunuh bayaran professional, tanpa merasa bersalah atau berdosa. Maka dari itu manusia perlu meninjau ulang fungsi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan, apakah orientasinya masih bersifat positive-konstruktif atau cenderung malah negative-destruktif.
Adapun etika islam dalam pengembangan Iptek dapat dikemukakan sebagai berikut:[14]
Pertama, islam sebagai ajaran yang komprehensif dan universal dalam ajarannya tidak mengenal kompartementalisasi bidang-bidang kehidupan manusia, sehingga bidang pengembangan ilmu dan teknologi juga merupakan bagian integral muslim secara utuh. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah aplikasi ilmu dan teknologi harus sesuai dengan ajaran islam.
Kedua, dalam system islam seluruh kehidupan manusia muslim pada hakikatnya harus diniatkan sebagai pengabdian (ibadah) kepada Allah. Dengan demikian tidak mungkin seorang muslim melacurkan ilmu kepada sesamanya baik yang berwujud tiran, dictator, maupun kekuatan kolonialisme atau kapitalis yang bersifat eksploitatif.
Ketiga,  sesuai dengan fungsi islam sebagai rahmatan lil alamin[15], maka ilmu dan teknologi dikembangkan oleh para ilmuwan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan sebaliknya membawa laknat, bencana dan malapetaka. Dengan demikian iptek harus dikelola dengan etika sehingga tidak merusak kehidupan manusia, ekosistem flora dan fauna di muka bumi.[16]
Keempat, erat hubungannya dengan prinsip diatas, ilmu dan teknologi boleh dikembangkan sejauh mungkin selama berlandaskan etik atau moral yang jelas. Ilmu dan teknologi sebagai bagian dari kehidupan manusia guna mencapai sebuah kesejahteraan. Oleh karena itu harus tetap berlandaskan moral.
Kelima, pengembangan ilmu dan teknologi harus memiliki korelasi yang positif  bagi meningkatkan ketakwaan kepada Sang Pecipta, sehingga melahirkan ilmuwan yang beriman (Ulil Albab). Dengan demikian intelektual mukmin akan terhindar dari kecongahan intelektual (dodol/geblek).
Iman perlu dibina dengan pemahaman terhadap gejala-gejala alam semesta. Dengan demikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan ilmu. Karena segala ilmu berasal dari Allah, yang Maha Segalanya.
C.     Agama dan Ilmu Pengetahuan
Agama dan ilmu pengetahuan (sains), adalah dua kata yang memiliki arti universal. Agama adalah pandangan tertentu kepada kehidupan. Agama membentuk suatu aturan dan undang-undang berdasarkan pandangan tersebut. Sementara sains adalah pengetahuan yang mencoba mengungkapkan misteri alam beserta isinya. Hal tersebut memungkinkan manusia dapat menyingkap misteri alam, mamanfaatkan dan meramalkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. Oleh karena itu, sains membatasi ruang geraknya pada segenap gejala yang ditangkap oleh pengalaman manusia melalui panca inderanya.
Terdapat teori ilmu pengetahuan, Alquran memberikan gambaran yang secara urut mempunyai skala menarik, yakni: (a) pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin[17], (b) pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan dan yang dilaporkan oleh pengamatan atau ainul yakin[18], dan (c) pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau intuisi atau haqqul yakin.[19]
Pengetahuan yang pertama, ilmu yakin, terdapat keyakinan yang lebih besar terhadap pengetahuan manusia yang didasarkan kepada pengalaman akal actual yang diperoleh melalui observasi dan eksperimentasi terhadap suatu gejala atau fenomena.
Pengetahuan bentuk kedua yakni, Ainul Yakin, adalah pengetahuan ilmiah yang didasarkan kepada pengalaman observasi atau ekperimentasi maupun pengetahuan sejarah yang didasarkan kepada laporan-laporan dan penggambaran dari pengalaman aktual.
Pengetahuan tertinggi yakni, Haqqul Yakin, pengalaman melalui batin memberikan derajat paling tinggi, dan petunjuk Allah mula-mula datang kepada makhluknya dari sumber manusia sendiri.
            Ilmu agama, seperti Ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadits, serta ilmu akhlak mengantarkan manusia dapat memahami agama Islam dengan benar dan meyakininya, mengamalkannya dengan ikhlas, berakhlak mulia dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Dengan demikian, apabila di suatu masyarakat yang penduduknya memiliki pengetahuan agama yang baik, maka biasanya suasana pada masyarakat yang demikian itu aman dan tentram.
            Ilmu pengetahuan umum yang berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan juga manfaatnya bagi masyarakat tidak berbeda dengan manfaat ilmu agama, asalkan digunakan sejalan dengan tuntunan agama. Manusia dengan akalnya diberikan oleh Allah kemampuan untuk menyerap sejumlah ilmu pengetahuan, walaupun hanya sedikit saja dibandingkan dengan kesempurnaan ilmu Allah, akan tetapi tetap harus berpegang kepada kebenaran untuk mencari ridho Allah SWT.[20]
  
BAB III
KESIMPULAN
            Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Alquran adalah konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid.
            Kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam adalah sebagai berikut; Manusia diangkat sebagai khalifatulllah (penguasa), dan dibedakan dari makhluk lain karena ilmunya. Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Alquran diturunkan dengan ilmu Allah, dan hanya dapat direnungkan atau dimengerti maknanya oleh orang-orang yang berilmu.  Alquran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki ilmu pengetahuan. Allah melarang manusia untuk mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya. Di sini Islam menuntut agar manusia tidak bersikap dan bertindak kecuali berdasarkan ilmu.
Empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain: Alquran dan Assunnah, Sejarah umat manusia, Manusia itu sendiri, dan Alam semesta.
            Untuk memperoleh pengetahuan, manusia bisa menempuh melalui dua cara, yaitu: Jalur Ilahiyah, yakni, Manusia memperoleh ilmunya dari informasi-informasi Ilahiyah (ilmu pengetahuan yang diwahyukan) melalui kitab suci Alquran secara langsung, siap pakai dan tanpa harus menggunakan prosedur metode ilmiah. Dan Jalur Insaniyah, Melalui jalur ini manusia mendapat ilmunya setelah melalui proses pencarian ilmu dengan berolah fikir, berolah jiwa berolah indera, maupun dengan cara berolah raga.
            Terdapat teori ilmu pengetahuan dalam Alquran yakni: (a) pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin[21], (b) pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan dan yang dilaporkan oleh pengamatan atau ainul yakin[22], dan (c) pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau intuisi atau haqqul yakin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumiddin, Bandung: Mizan, 1996


Alim Muhammad, Pendidikan Agama Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung:    2006


Qodir C.A.. Filsafat dan ilmu Pengetahuan dalam Islam. Yayasan obor Indonesia,            Jakarta: 1989
http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/
http://e-coversance.blogspot.com/2011/02/ilmu-pengetahuan-umum-dalam-agama-islam.html


         [1]  Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 205
         [2] C.A. Qodir. Filsafat dan ilmu Pengetahuan dalam Islam. (, Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1989),  hal. 5   
         [3] http://e-coversance.blogspot.com/2011/02/ilmu-pengetahuan-umum-dalam-agama-islam.html diakses pada tanggal 09/03/2012

         [4]  Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 206
         [5] http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/ diakses pada tanggal 09/03/2012

         [6]  Ibid….. 207
         [7]  Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumiddin, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 23
         [8]  Ibid hal 208

         [9]  Ibid hal 210
         [10]  Ibid hal 212
         [11] QS Fush shilat, 41:53

         [12] QS Ali Imron, 3:190

         [13] QS Al-Ghasyiyah, 88:17-20
         [14] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Hal 219

         [15] QS Al-Anbiya’, 21:107

         [16] QS Ar-Rum, 30:41
         [17] QS At Takatsur, 102:5

         [18] QS At Takatsur, 102:7

         [19] QS Al-Haqqah, 69:51
         [20] http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/ di akses pada tanggal 09/03/2013

[21] QS At Takatsur, 102:5
         [22] QS At Takatsur, 102:7

AMANS - 19.05

IBADAH

  Pendahuluan
Ibadah adalah sarana seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta yaitu Allah SWT. Ibadah juga merupakan bekal unuk menghadapi kehidupan selanjutnya yang lebih kekal. Jadi seorang hamba dapat diibaratkan sebagai musafir yang harus membekali dirinya untuk persiapan mengarungi perjalanan yang hendak ditempuhnya. Oleh karena itu manusia dibekali dengan kemampuan fisik maupun ruhaniyah, agar ia mampu melaksanakan kewajiban ibadah ini secara baik dan sempurna.
Allah SWT menuntun manusia melalui wahyu yang diturukan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasulnya, dan dengan wahyu ini pulalah manusia mampu membaca keinginan tuhannya. Untuk meningkatkan hubungan antara hamba dan khaliqnya maka manusia melakukan ibadah kepada tuhannya, dengan harapan mendapatkan ridho dari sang pencipta yaitu Allah SWT.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku..” [Adz-Dzaariyaat: 56]
B.     Pengertian Ibadah
Ibadah menurut bahasa adalah: Pengabdian, Penyembahan kepada sesuatu yang dianggap suci.[1] Menurut ahli lughot (bahasa), ibadah diartikan dengan: taat, menurut, mengikut, tunduk. Selain itu  mereka mengartikan juga dengan tunduk setinggi-tingginya, dan dengan do’a. [2]
 Ibadah menurut syara’ adalah melaksanakan segala macam yang diperintahkan  oleh Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-NYA, dengan tujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, antara manusia dengan alam sekitarnya den kesemuaannya itu sebagai ujian terhadap kebenaran dan kekuatan iman dalam praktek sehari-hari.[3]
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.[4]
Dari definisi diatas maka dapat disimpulkan mengenai pengertian Ibadah secara umum. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. [5]
C.    Dasar-dasar Praktek Ibadah
a.      Dasar Naqliyah
·      Al-Qur’an
Yaitu Firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dan sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.
·      Al-Hadits
Yaitu Segala sesuatu yang berhubungan denagn perbuatan, perkataan dan ketetapan  Rasullulah. Hadits ini berfungsi untuk menjelaskan hukum Al-Qur’an yang sifatnya masih umum atau untuk menguatkan hukum serta berfungsi membuat hukum apabila belum ada dalam  Al-Qur’an
b.      Dasar Aqliyah
·      Al-Ijma’ (konsensus) Para ulama’
Yaitu Hasil dari diskusi atau kesepakatan ulama’ terhadap suatu masalah yang belum ada  ketentuannya dalam Al-Qur’an
·      Al-Qiyas
Yaitu Usaha untuk mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada hukumnya dengan hukum yang telah ada dalam al-Qur’an maupun Hadits karena mempunyai sebab yang sama.[6]
D.    Macam-macam Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis:
1. Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:[7]
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah,  Baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw.
Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…الحشر 7
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
c. Bersifat supra rasional (di luar jangkauan akal)
Artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”,
Yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:[8]
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
1. Wudhu                          2. Tayammum             3. Mandi hadats
4. Adzan                           5. Iqamat                     6. Sholat
7. Membaca al-Quran       8. I’tikaf                      9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji                             11. Umrah                   12. Tajhiz al- Janazah




Rumusan Ibadah Mahdhah adalah
“KA + SS”
(Karena Allah + Sesuai Syari’at)

 








2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah)  yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.[9]
E.     Tuntutan Hukum Ibadah
Dalam melaksanakan suatu Ibadah ada beberapa ketentau hukumnya yaitu:[10]
1.    Wajib, yaitu :  Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan mendapatkan siksa. Seperti shalat fardhu, puasa ramadhan, mengeluarkan zakat, haji dan lainnya. Wajib ini menunjukkan perintah yang tetap. Wajib ini ada dua macam:
a.      Wajib ‘Ainiyah (fardhu ‘ain)
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang dibebankan  kepada pribadi masing-masing (individual). Seperti Shalat wajib, Puasa zakat, haji
b.      Wajib Kifayah (fardhu Kifayah)
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang dibebankan kepada orang banyak (masyarakat) tetapi tuntutan itu akan gugur kalau ada salah seorang saja diantara mereka mengerjakannya.  Dan semua masyarakat itu akan mendapatkan dosa  andaikata tidak ada satu orangpun melaksanakannya. Contohnya mengurus jenazah dari memandikan sampai memakamkannya.[11]
2.     Sunnah, yakni : Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat dhuha, puasa senin-kamis dan lainnya. Sunnah ini menunjukkan perintah yang tidak tetap. Perbuatan sunnah ada dua macam.
a.      Sunnah Muakkad
Sunnah muakkad ini kita dituntut  lebih diutamakan mengerjakannya, seperti sholat Idul Fitri, puasa syawal.
b.      Sunnah Ghairu Muakkad
Sunnah ghairu muakkad ini sunnah yang biasa saja seperti infaq berbuat bermacam-macam kebaikan dan sholat/puasa sunnah selain muakkad.[12]
3.    Haram, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat siksa. Seperti minum arak, berbuat zina, mencuri, dan lain sebagainya. Haram ini menunjukkan larangan yang tetap.
4.     Makruh, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapat siksa. Seperti mendahulukan yang kiri atas kanan saat membasuh anggota badan dalam wudhu. makruh ini menunjukkan larangan yang tidak tetap.
5.    Mubah, yaitu ; Suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan sama saja tidak mendapat pahala atau siksa. Seperti makan, minum. Mubah ini tidak menunjukkan perintah yang tetap atau yang tidak tetap. dan tidak menunjukkan larangan tetap atau larangan tidak tetap.

F.     Klasifikasi Nilai Pelaksanaan Ibadah
Ada dua penilaian saja terhadap semua ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah yang kita kerjakan, yaitu:
a.       Shah (benar)
Ibadah yang shah berati ibadah tersebut insya Allah diterima oleh Allah SWT dan akan mendapatkan ganjaran sebagaimana mestinya serta kewajiban ibadah itu telah lepas dari tuntutan. Hal yang menentukan perbuatan itu dianggap shah
·      Sesuai dengan persyaratannya
Syarat ialah perbuatan yang menyebabkan shahnya suatu amal ibadah, sedangkan perbuatan itu tidak termasuk daripada bagian amal ibadah yang sedang dikerjakan.
·      Sesuai dengan rukunnya
Rukun ialah perbuatan yang menyebabkan shahnya amal ibadah, sedangkan perbuatan-perbauatan itu termasuk daripada bagian perbauatan amal ibadah yang sedang dikerjakan.
b.      Batal (ditolak)
Hal ini terjadi apabila perbuatan yang kita kerjakan itu tidak memenuhi syarat dan rukunya  yang telah ditentukan dalam ibadah yang sedang kita kerjakan. Perbuatan yang batal ini masih disuruh kita untuk mengulanginya sehingga mencapai kepada perbuatan yang shah[13]
G.    Cara –cara Praktek Ibadah
Semua pekerjaan itu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan sukses harus dilakukan dengan cara yang benar dan sempurna. Begitu juga dengan Ibadah. Ketentuan untuk mengerjakan suatu ibadah itu antara lain:
1.      Dengan hati yang Ikhlas. Semua ibadah itu dikerjakan semata-mata karena Allah SWT.
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين...
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus ...”QS .Al-Bayyinah: 5)

2.      Menjauhkan diri dari Riya’.Janganlah ketika kita mengerjakan suatu ibadah itu karena hanya ingin mendapatkan pujian semata. Sesuai dengan firman Allah SWT
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria.” (QS. Al Maa’un 4-6)
3.      Dengan Bermuroqobah. Maksudnya kita yakin bahwasannya Allah itu melihat apa yang kita kerjakan baik lahir maupun batin.
“Bahwasannya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau lihat  Dia. Dan jika engkau tidak dapat melihat Dia, maka sesungguhnya Dia senantiasa melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4.      Tepat Pada Waktunya. Maksudnya pelaksanaan ibadah yang sedang kita kerjakan itu masih ada waktunya dan lebih diutamakan pada awal waktu[14]
H.    Hikmah Ibadah
Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Allah SWT bahwa tiap-tiap makhluk yang bernyawa di muka bumi ini lebih banyak menyukai kejahatan daripada berbuat kebaikan sebab umumnya mereka sangat mudah dipengaruhi oleh hawa nafsu. Oleh sebab itu, Allah memberi senjata pada makhluknya untuk menjaga diri dari serangan musuhnya. Umpamanya burung dengan paruhnya, ular dengan bisanya dan lain sebagainya. Sedang manusia dibekali senjata oleh Allah SWT dengan akal dan pikirannya.
Dengan akal dan pikiran itulah manusia berbeda dengan makhluk lainnya walaupun masih ada dasar kejahatan pada diri manusia karena manusia juga mempunyai hawa nafsu. Akal dan pikirannya itulah yang meninggikan manusia dari derajat makhluk-makhluk yang lainnya. Karena dengan akal dan pikirannya itulah manusia diberi beban atau taklif oleh Allah SWT yang berupa larangan-larangan dan perintah-perintah, sehingga manusia mampu menuntun kearah jalan akal dan pikiran yang benar sesuai dengan kehendak Allah SWT.[15]
Allah SWT menuntun manusia melalui wahyu yang diturukan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasulnya, dan dengan wahyu ini pulalah manusia mampu mebaca keinginan tuhannya. Untuk meningkatkan hubungan antara hamba dan khaliqnya maka manusia melakukan ibadah kepada tuhannya, dengan harapan mendapatkan ridho dari sang pencipta.
Kesimpulan
Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Dasar dasar praktek ibadah yaitu Dasar Naqliyah (Al-Qur’an, Al-Hadits), Dasar Aqliyah (Al-Ijma’, Para ulama’, Al-Qiyas)
Ibadah terbagi menjadi 2 yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah.  Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip
·      Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah,
·      Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw.
·      Bersifat supra rasional (di luar jangkauan akal)
·      Azasnya “taat”,
Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
·      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang.
·      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul
·      Bersifat rasional
·      Azasnya “Manfaat”,
Tuntutan Hukum Ibadah1.Wajib (Wajib ‘Ainiyah, Wajib Kifayah ) 2.Sunnah(Sunnah Muakkad& Sunnah Ghairu Muakkad) 3. Haram 4. Makruh 5. Mubah. Ketentuan untuk mengerjakan suatu ibadah antara lain:
a.       Dengan hati yang Ikhlas.
b.      Menjauhkan diri dari Riya’
c.       Dengan Bermuroqobah.
d.      Tepat Pada Waktunya.
Demikianlah makalah ini kami susun semoga dapat memberi khasanah dan wawasan pengetahuan dalam erat kaitanya mengenai mata kuliah Fiqih khususnya dalam pembahasan Ibadah

DAFTAR PUSTAKA
Abidin Slamet, Fiqih Ibadah, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998
Ash Shiddieqy Hasbi,Kuliah Ibadah ibadah ditinjau dari segi hukum dan hikmah, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1994
Matdawam M. Noor, Bersuci & Shalat serta Butur-butir Hikmahnya, Jogjakarta, T.TP, 2004
Syukur Amin, Pengantar Studi Islam, Semarang : CV. Bima Sakti, 2003
http://tanbihun.com/fikih/definisi-wajibsunnahharammakruh-dan-mubah/ 


[1] M. Noor Matdawam, Bersuci & Shalat serta Butur-butir Hikmahnya,(Jogjakarta: T.TP, 2004)  hal. 1
[2] Hasbi Ash Shiddieqy,Kuliah Ibadah, (Ibadah ditinjau dari segi hukum dan hikmah), (Jakarta,PT. Bulan Bintang, 1994) hal. 1
[3] Op.cit, hal.1
[5] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti, 2003), Hlm. 80.
[6] M. Noor Matdawam, Bersuci & Shalat serta Butur-butir Hikmahnya, (Jogjakarta: T.TP, 2004)  hal. 7
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] http://tanbihun.com/fikih/definisi-wajibsunnahharammakruh-dan-mubah/  diakses 10-03-2012 jam 18.30
[11] M. Noor Matdawam, Bersuci & Shalat serta Butur-butir Hikmahnya (Jogjakarta, T.TP, 2004)  hal. 10
[12] Ibid hal. 11
[13] M. Noor Matdawam, Bersuci & Shalat serta Butur-butir Hikmahnya (Jogjakarta, T.TP, 2004)  hal. 13
[14] Ibid hal. 9-10
[15] Slamet Abidin, Fiqih Ibadah , (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998), hal. 14

AMANS - 19.02