;

Kamis, 19 April 2012

HAKIKAT, CIRI DAN KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR

Kamis, 19 April 2012

BAB I PENDAHULUAN
Istilah belajar merupakan istilah yang sudah lazim di kalangan masyarakat. Banyak ahli telah memberi batasan atau definisi tentang belajar. Definisi belajar sangat sulit untuk diformulasikan secara utuh atau memuaskan, karena melibatkan semua aktifitas dan proses yang diharapkan untuk dimasukkan ataupun dihapus.
Siapapun tidak pernah menyangkal bahwa kegiatan belajar mengajar tidak berproses dalam kehampaan, tetapi penuh dengan makna. Didalamnya terdapat sejumlah norma untuk ditanamkan ke dalam ciri pribadi anak didik.
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirilah interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai mediumnya. Di sana semua komponen pengajaran di perankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Sebagai kegiatan yang bernilai pendidikan (edukatif) belajar mengajar mempunyai hakikat, ciri dan komponen. Maka dari itu dalam makalah ini penyusunan mengambil judul “HAKIKAT, CIRI DAN KOMPONEN BELAJAR MENGAJAR”. 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Belajar Mengajar
Sebagai guru sudah menyadari apa yang sebaiknya dilakukan untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang dapat mengantarkan anak didik ke tujuan pengajaran. Sebagai kegiatan yang bernilai edukatif, maka belajar mengajar mempunyai hakikat, ciri dan komponen. Ketiga aspek ini perlu betul guru ketahui guna menunjang tugas di medan pengabdian.
 Belajar menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, artinya berusaha              (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat sesuatu kkepandaian. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan dalam diri seseorang yang di tampakkan dalam bentuk peringkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan pengetahuan, kecakapan, daya pikir, sikap, kebiasaan, dan lain-lain.
Proses belajar merupakan jalan yang harus di tempuh oleh  seseorang          (pelajar , mahasiswa ) untuk mengerti sesuatu hal  yang sebelumnya tidak  di ketahui atau   di ketahui    tetap   belum  menyeluruh tentang seuatu hal .Melalui belajar seseorang dapat meningkatkan kualitas dan kemampuannya seperti yang di kemukakan sebelumnya . Apabila di dalam suatu proses belajar seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses belajar. Atau orang tersebut mengalami kegagalan dalam proses belajar.
Belajar merupakan suatu proses kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman, maka siswa perlu diberi waktu yang memadai untuk melakukan prose situ. Aritnya memberikan waktu yang cukup untuk berfikir ketika siswa menghadapi masalah sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk membangun sendiri gagasannya. Tidak membantu siswa terlalu dini, menghargai usaha siswa mempunyai walaupun hasilnya belum memuaskan, dan menantang siswa sehingga berbuat dan berfikir merupakan strategi guru yang memungkinkan siswa menjadi pembelajar seumur hidup. Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung jawab unutk menciptkan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.[1]
 Belajar pada hakikatnya merupakan hasil dari proses interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya karena “Belajar tidak semata-mata sebagai suatu upaya dalam merespons suatu stimulus, tetapi lebih dari itu belajar dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti mengalami, mengerjakan dan memahami, disebut belajar melalui proses” ( Mohammad Ali, 1983:18).[2]
Mengajar menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah memberikan pelajaran. Sedangkan pelajaran adalah sesuatu yang dikaji atau dipahami atau yang diajarkan misalnya membaca, latihan, penyelidikan. Proses mengajar berbentuk pengajaran yang berarti cara memberikan ilmu atau pengetahuan serta juga memberikan keterampilan kepada anak-anak (onderwijs). Dapat juga pengajaran diartikan membantu siswa mengembangkan potensi intelektual yang ada padanya yang bertujuan agar intelektual setiap siswa berkembang optimal (onderwijs, teaching). Dari pengertian- pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah memberikan sesuatu dengan cara membimbing dan membantu kegiatan belajar kepada seseorang ( siswa) dalam mengembangkan potensi intelektual, ( emosionala serta spritualnya) sehingga potensi-potensi tersebut dapat berkembang secara optimal.[3]

B.     Hakikat Belajar Mengajar
Dalam kegiatan belajar mengajar, anak didik adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara aktif untuk mencapinya. Keaktifan anak didik di sana tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya.
Padahal belajar pada hakikatnya adalah “Perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar.[4] Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kegiatan belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya. Akhirnya, bila hakikat belajar adalah “perubahan”, maka hakikat belajar mengajar adalah proses “perubahan” yang dilkakukan oleh guru.

C.    Ciri-Ciri Belajar Mengajar
Dalam proses kegiatan belajar mengajar, kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi Suardi sebagai berikut :
1.      Belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud dengan kegiatan belajar mengajar itu sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian.
2.      Ada suatu proses (jalannya interaksi) yang direncanakan, di desain untuk mencapai secara optimal, maka dalam melakukan interaksi perlu ada prosedur, atau langkah-langkah sistematik dan relevan.
3.      Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal ini materi harus di desain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai tujuan.
4.      Ditandai dengan aktivitas anak didik. Sebagai konsekuensi, bahwa anak didik merupakan syarat untuk bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
5.      Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing. Dalam perannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberi motivasi, agar terjadi proses interaksi yang kondusif.
6.      Dalam kegiatan belajar mengajar membutuhkan dispilin. Disiplin dalam kegiatan belajar mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh pihak guru maupun anak didik dengan sadar.
7.      Ada batas waktu. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik), batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditingkalkan. Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu sudah harus tercapai.
8.      Evaluasi. Dari seluruh kagiatan diatas, masalah evaluasi bagian penting yang tidak bisa diabaikan, setelah guru melakukan kegiatan belajar mengajar. Evaluasi harus guru lakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran yang telah dilakukan.[5]
Menurut Muhammad Ali, Belajar -mengajar dapat dikatakan bermakna dan berkadar aktifitas belajar yang tinggi bila terdapat cirri-ciri sebagai berikut :
1.      Adanya keterlibatan peserta didik dalam menyusun atau membuat perencanaan proses belajar- mengajar.
2.      Ada keterlibatan intelektual emosional, peserta didik melalui kegiatan mengalami, menganalisis, berbuat, mauppun pembentukan sikap.
3.      Adanya keikutsertaan peserta didik secara kreatif dalam menciptakan situasi yang cocok untuk berlangsungnya proses belajar- mengajar.
4.      Guru bertindak sebagai pasilitator dan kkoordinator kegiatan belajar peserta didik.[6]

D.    Komponen-Komponen Belajar Mengajar
Sebagai suatu sistem tentu saja kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah komponen yang meliputi :
1.      Tujuan
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan. Tidak ada suatu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kagiatan itu akan di bawa. Akhirnya, guru tidak bisa mengabaikan
masalah perumusan tujuan bila ingin memprogramkan pengajaran.
Tujuan penting dalam rangka sistem pembelajaran, yakni merupakan suatu komponen system pembelajaran  yang menjadi titik tolak dalam merancang sistem yang efektif. Secara khusus kepentingan itu terletak pada :
a.       Untuk menilai pembelajaran . pengajaran dianggap berhasil jika siswa mencapai tujuan yang telah ditentukan. Ketercapaian tujuan oleh siswa menjadi indicator keberhasilan sistem pembelajaran.
b.      Untuk membimbing siswa belajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan secara tepat berdayaguna sebagai acuan, arahan, pedoman bagi siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Dalam hubungan ini, guru dapat merancang tindakan-tindakan tertentu untuk mengarahkan kegiatan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut
2.      Bahan Pelajaran
Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikannya pada anak didik. Ada dua persoalan dalam penguasaan bahan pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan profesinya (disiplin keilmuannya). Sedangkan bahan pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka wawasan seorang guru agar dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran pokok.
Bahan penunjang ini biasanya bahan yang terlepas dari dispilin keilmuan guru, tetapi dapat digunakan sebagai penunjang dalam penyampaian bahan pelajaran pokok. Pemakaian bahan pelajaran penunjang ini harus disesuaikan dengan bahan pelajaran pokok yang dipegang agar dapat memberikan motivasi kepada sebagian besar atau semua anak didik.
3.   Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang telah diprogramkam akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pengajaran, kegiatan belajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi itu anak didiklah yang lebih aktif, bukan guru. Guru hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator.
4.   Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, mereka diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak menguasai satu pun metode mengajar yang dirumuskan dan dikemukakan para ahli psikologi dan pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991: 72).
5.  Alat
Alat adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan pengajaran, alat mempunyai fungsi, yaitu alat sebagai perlengkapan, alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan dan alat sebagai tujuan (Dr. Ahmad D. Marimba, 1989: 51).
6.    Sumber Pelajaran
Yang dimaksud dengan sumber-sumber bahan dan belajar adalah sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs. Udin Saripuddin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiwinata, 1991: 165). Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan).
7.  Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation. Dalam buku Essentials of Educational Evaluation karangan Edwin Wand dan Gerald W. Brown. Dikatakan bahwa Evaluation refer to the act or prosess to determining the value of something. Jadi, menurut Wind dan Brown, evaluasi adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Sesuai dengan pendapat di atas, maka menurut Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sumartana, (1983: 1) evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ny. Drs. Roestiyah N.K. (1989: 85) mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.[7]

BAB III
KESIMPULAN
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang bernilai edukatif, maka mempunyai hakikat, ciri dan komponen. Ketiga aspek tersebut perlu betul guru ketahui dan pahami guna menunjang tugas di medan pengabdian, ketiga aspek tersebut adalah :
a. Hakikat Belajar Mengajar
b. Ciri-Ciri Belajar Menagjar
c. Komponen-Komponen Belajar Mengajar
Sebagai suatu proses pengaturan, maka kegiatan belajar mengajar memiliki ciri-ciri, yang menurut Edi Suardi adalah :
1)      Belajar mengajar memiliki tujuan
2)      Ada suatu prosedur yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
3)      Kegiatan belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus
4)      Ditandai dengan aktivitas anak didik
5)      Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing
6)      Membutuhkan disiplin
7)      Ada batasan waktu, dan
8)      Diadakan evaluasi (penilaian)
Demikian uraian seacara umum tentang hakikat, ciri dan komponen belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA

http://myfortuner.wordpress.com/strategi-pembelajaran-2/strategi-pembelajaran /strategi-2-3/
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. 7, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008)
Arnie Fajar, Portopolio dalam Pelajaran IPS, Cet. 5, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)sss

A.T. Rusyan, Meningkatkan Mutu Kegiatan dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar, Cet. 2, ( Jakarta: PT. Kartanegara, 1999),


[1] Arnie Fajar, Portopolio dalam Pelajaran IPS, Cet. 5, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 10
[2] A.T. Rusyan, Meningkatkan Mutu Kegiatan dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar, Cet. 2, ( Jakarta: PT. Kartanegara, 1999), hlm. 8
[3] Arnie Fajar, Portopolio dalam Pelajaran IPS, . .hlm. 12
[4] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. 7, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 37
[5]http://myfortuner.wordpress.com/strategi-pembelajaran-2/strategi-pembelajaran /strategi-2-3/ diakses pada tanggal 23/03/2012, 20.00.

[6] A.T. Rusyan, Meningkatkan Mutu Kegiatan dalam Proses Belajar Mengajar di Sekolah Dasar, hlm..9
[7]http://myfortuner.wordpress.com/strategi-pembelajaran-2/strategi-pembelajaran /strategi-2-3/ diakses pada tanggal 23/03/2012, 20.00.


AMANS - 06.33

Rabu, 18 April 2012

Berlibur di Manggar

Rabu, 18 April 2012


AMANS - 19.55

Berdua Duaan


AMANS - 19.48

Kebun Rambutan Part 1


AMANS - 19.17

Muhkam Mutasyabih

BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ayat-ayat yang terkandung dalam Al-qur’an ada kalanya yang berbentuk lafadz, ungkapan dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Ayat-ayat Al-qur’an seperti itu dinamakan muhkam. Di sisi lain, terdapat pula ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya, sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan pada makna yang jelas dan tegas.  maka ayat yang demikian dinamakan mutasyabih.
Muhkam wal mutasyabih merupakan salah satu dari sekian banyak dari diri Al-Qur’an. Artinya muhkam wal mutasyabih merupakan sebuah pembahasan yang berhubungan langsung dengan diri Al-Qur’an secara internal.
Terlepas dari itu semua, jika kita renungkan bersama ternyata dengan adanya ayat-ayat muhkam wal mutasyabih terutama ayat-ayat mutasyaih dapat memunculkan kreaksi-kreaksi, usaha-usaha yang kreaktif dan konsep-konsep baru dalam berbagai cabang ilmu. Melihat realita yang terjadi, maka kami mengambil judul “Muhkam dan Mutasyabbih” sebagai judul dari makalah kami, dengan mata kuliah Ulumul Qur’an.

B.       Rumusan Masalah
          Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan permasalahan  dalam makalah ini adalah :
1.      Pengertian Muhkam dan Mutasyabbih?
2.      Sikap para ulam terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabbih?
3.      Hikmah keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabbih dalam Al-qur’an?

BAB II PEMBAHASAN
 
A.    Muhkam dan Mutasyabbih
Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan. Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.[1]
Ada yang berpendapat bahwa Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui baik secara nyata ataupun melalui ta’wil.[2] Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya. Ayat yang hanya mengandung satu pena’wilan. Dan dapat pula didefinisikan sebagai ayat yang dapat berdiri sendiri.
Menurut Abu Abdullah Al-Bakrabadzi, muhkam itu menurut tabi’at tidak mengandung makna, kecuali hanya satu makna saja. Maka barangsiapa yang mendengarnya dapat memahami petunjuknya secara langsung.[3]
Contoh dari Surah Al-qur’an yang mengandung makna Muhkam yaitu terdapat pada surah Al-baqaroh ayat  183
Atrinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS Al-Baqaroh, ayat 183)

Mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.[4]
Selain itu, Mutasyabbih dapat diartikan sebagai ayat yang hanya diketahui oleh Allah Swt seperti masalah kiamat, munculnya dajjal dan potongan-potongan huruf hija’di awal surat.[5]
Mutasyabbih ialah ayat yang mengandung beberapa kemungkinan pena’wilan. Ada juga yang mengatakan ayat yang tidak sempurna pemahamannya kecuali merujuk kepada ayat lainnya.
Menurut Abu Abdullah al-Bakrabadji Mutasyabbihat yaitu ayat yang membutuhkan pemikiran dan penelitian, agar dia dapat menafsirkan dengan makna yang layak baginya atau hanya dapat diketahui secara umum.
Dan diantara ayat-ayat mutasyabbihat adalah ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah.

Artinya : "(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy”. (QS Thaahaa. Ayat 5)
Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
Adapun pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus.
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut :
1.      Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2.      Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
3.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan anji. Sedangkan ayat-ayat mutasyabbihat berbicara tentang kisah-kisah dan perumpamaan.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya.
muhkam ialah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa ditakwilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak musykil, karena pengertiannya masuk akal, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh.
Sedangkan pengertian mutasyabih ialah lafal-Al-Quran yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau oleh akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan cukup diyakini adanya saja dan tidak perlu amalkan, karena merupakan ilmu yang hanya dimonopoli Allah SWT.
Sudah jelas bahwa kedua istilah memang sangat berbeda. Muhkam merupakan sesuatu yang jelas dan terang adalah atau pengertiannya, sementara mutasyabihat adalah sesuatu yang samar-samar dan kabur adalah atau pengertiannya. Dari sinilah timbul berbagai pendapat yang diantaranya sebagai berikut:
1.      Menurut As-Suyuti, muhkam adalah sesuatu yang sudah jelas artinya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
2.      Menurut Imam Ar-Razi muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat, baik maksud maupun lafadnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.
3.      Menurut Mnna’ Al-Qathathan, muhkam adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerluakan keterangan lain, sedangkan mutasyabih  tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari berbagai penjelaan dan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Ayat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya.
Sedangan ayat mutasyabih merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal ini dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal, ayat-ayat tersebut juga bersifat Mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.

Adapun macam-macam Ayat Mutasyabbihat yaitu :
1.      Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, kecuali Allah SWT. contohnya, seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifat-Nya, waktu datangnya hari kiamat, dan sebagainya.
2.       Ayat-ayat yang mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contohnya, seperti merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, mengkayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
3.      Ayat-ayat yang mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, bukan oleh semua orang, apalagi orang awam. Hal-hal ini termasuk urusan-urusan yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang-orang yang rasikh (mendalam) ilmu pengetahuannya
B.     Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih
Para ulama mempunyai beberapa pendapat yang berbeda berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabih diatas. Khususnya ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat tuhan benar-benar menjadi kontroveksi dikalagan para ulama. Sedangkan ayat-ayat yang lain, maka tidak terlalu mempersoalkannya. Apabila ditelusuri pendapat-pendapat ulama berkenaan dengan ayat-ayat mutsayabihat tentang sifat-sifat Tuhan, maka secara garis besarnya terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu:
1.      Menerima tanpa takwil
Mereka yang menerima dan mempercayai begitu saja secara apriori ayat-ayat mutasyabihat ini disebut dengan aliran salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cai takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
2.      Menerima dengan takwil
Jika ulama salaf tidak memperolehkan pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka mulai sedikit toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Namun sebagian besar mereka masih tetap memegangi pendapat lama yang menolak setiap upaya interpertasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam bentuk apapun.
Untuk lebih jelasnya, maka disini akan kami paparkan contoh ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat- Nya seperti:
1.      Qs. Thaha ayat 5 yang memiliki arti “(Allah) maha pengasih bersemayam di atas ‘Arasy”.
2.      Qs. Al-fajr ayat 2, yang memiliki arti “ Dan datanglah kepada Tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.
3.      Qs. Al-An’am ayat 61 yang memiliki arti “ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.”
4.      Qs. Ar-Rahman ayat 27. Yang memiliki arti “dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu.”
5.      Qs. Thaha ayat 39, yang memiliki arti “agar engkau diasuh diatas mata-Ku.”
6.      Qs. Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti “tangan Allah diatas tangan mereka.”
7.      Qs. Ali imon ayat 28, yang artinya “ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya.”
Itulah beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijanjikan “sifat Allah”. Keadaan tersebut menunjukkan keadaan, tempat dan anggota yang layaknya dipakai bagi makhluk yang misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan Allah, maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya.
Adapun sikap para ulama terhadap ayat-ayat Mutasyabbihat terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1.      Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama mutaqaddimin
2.      Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin.
C.     Hikmah keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabbih dalam Al-qur’an
Adapun hikmah dari Ayat-ayat Muhkam adalah :
1.      Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2.      Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3.      Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4.      Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Adapun hikmah dari Ayat-ayat Mutasyabbih adalah :
1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3.      Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
4.      Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
5.      Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
6.      Anjuran kepada para ulama untuk melakukan penelitian guna mengungkap aspek-aspek tersembunyi dari ilmu pengetahuan, dan pembahasan tentang kandungan dan kedalamannya. Karena dorongan jiwa untuk mengetahui hal itu termasuk di antara ibadah yang agung.
7.      Jika semua Al-Qur’an itu hanya terdiri dari Ayat-ayat Muhkam saja, maka takwil dan kajian yang mendalam terhadap Al-Qur’an itu tidak dibutuhkan dan semua manusia akan sama pengetahuannya.
8.      Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia takkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan
Jika kita coba renungkan bersama, maka kita akan mnemukan satu hikmah bahwa adanya ayat-ayat mutasyabihat tersebut sangat strategis dan teramat penting, terutama dalam rangka mengembangkan potensi akal-budi dan nalar pikiran. Dengan ayat-ayat mutasyabihat yang kurang terang pemahaman tersebut, maka para ulama, pakar, ilmuan dan sebagainya berusaha mengerahkan segenapkemampuan, daya piker dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung dibalik ungkapan yang samar-samar.
Perlu diketahui bahwa hal-hal yang sifatnya selalu mendorong seseorang untuk mengetahui hakikat dibalik kesamaran it. Dengan demikian, terjadilah usaha-usaha yang kreaktif dan inovatif secara berkesinambungan untuk mencapai suatu cita-cita. Kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia khususnya pada abad-abad pertengahan yang dikenal dengan zaman keemasan Islam. Dimana semua bidang ilmu agama, maupun ilmu umum berkembang dengan sangat pesat.



DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Zainal, Seluk-Beluk Al-Qur’an, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992

Anwar, Rosihin, Ulum Al-Qur’an, Bandumg : CV. Pustaka Setia, 2008

As Suyuthi, Imam Jalaluddin Samudera Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi Ulumil Qur’an), Surabaya : PT Bina Ilmu Offset, 2007
http://hanny.blogdetik.com/2010/02/04/muhkam-dan-mutasyabih/
http://tamrinfathoni.blogdetik.com/?p=7


[1] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Cet. 1, (Bandumg : CV. Pustaka Setia, 2008), hlm. 120
[2] Zainal Abidin, Seluk-Beluk Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992), hlm. 186
[3] Imam Jalaluddin As Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi Ulumil Qur’an), Cet. I,  Jilid. III, (Surabaya : PT Bina Ilmu Offset, 2007), hlm. 37
[4] http://hanny.blogdetik.com/2010/02/04/muhkam-dan-mutasyabih/
[5] Op.Cit, Zainal Abidin, Seluk-Beluk Al-Qur’an. Hlm. 186

AMANS - 06.23