;

Rabu, 04 April 2012

Adab Ketika Makan dan Berkumpul dalam Pertemuan

Rabu, 04 April 2012

Bab I : Pendahuluan
            Dalam kehidupan sehari-hari tentulah sebagai umat manusia yang notabennya adalah makhluk hidup memerlukan asupan makanan ataupun minuman untuk tetap bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan makanan ataupun minuman, sebagai Islam mengharuskan pemeluknya untuk memakan makanan yang halal lagi baik. Baik halal dari makanan istu sendiri ataupun cara mendapatkannya, dan baik bagi tubuh manusia.
            Selain harus memakan makanan yang halal lagi baik, cara makanpun dalam Islam telah diberi tuntunan oleh Nabi Muhammmad SAW.  Yang mana itu semua demi kemaslahatan manusia sendiri. Karena pada dasarnya ajaran Islam itu diperuntukkan untuk kehidupan manusia agar pada jalan yang baik bagi manusia itu sendiri.
            Selain sebagai makhluk yang konsumtif manusia juga sebagai makhluk sosial yang mana tidak dapat hidup sendiri dan memerlukan bantuan ataupun berinteraksi dengan manusia lainnya.
Dalam berkumpul, Islam juga telah mengatur agar kehidupan manusia ini sebagai makhluk sosial berjalan dengan baik.
            Beberapa adab ketika makan dan berkumpul dalam pertemuan akan di bahas dalam makalah ini dengan merujuk pada riwayat-riwayat yang telah ada, yang mana hal tersebut dicontohkan ataupun anjuran dari Rasullulah SAW. Semoga dapat memberikan manfaat.

Bab II : Pembahasan
A.    Pengertian
Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan agama, terutama Agama Islam. Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum. Sebutan orang beradab sesungguhnya berarti bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan dari segi kesopanan secara umum dan tidak khusus digabungkan dalam agama Islam
Makan adalah proses masuknya suatu makanan kedalam perut yang mana melalui sistem pencernaan. Makan adalah usaha untuk memasukkan nutrisi dalam tubuh demi memenuhi kebutuhan jasmaniah. Simana ketika jasmani ini sehat diharapkan dapat menunjang ibadah kepada Allah SWT.
Berkumpul dalam suatu pertemuan adalah menyatunya beberapa orang dalam satu kesatuan yang mana satu dengan yang lainnya dalam usaha memperbincangkan sesuatu ataupun ada hal-hal yang akan dilakukan. Berkumpul dapat berupa dalam suatu pekerjaan ataupun dalam rangka menuntut ilmu ataupun kegiatan yang lainnya.
Adab ketika makan dan berkumpul dalam pertemuan telah ada aturannya di dalam ajaran Islam dimana ajaran Islam ini mengatur adab itu untuk mengatur kehidupan manusia. Sehingga apabila manusia mengikuti adab makan yang telah dianjurkan maka bisa dipastikan manusia itu akan sehat jasmani dan rohaninyanya. Begitu pula dalam pertemuan, akan tercipta suasana yang kondusif dan tidak menimbulkan masalah-masalah sosial yang dapat memacu timbulnya pertikaian dan permusuhan.
B.   Adab Makan
Setiap manusia hidup pasti memerlukan makan minum. Ini sudah menjadi keharusan,sebab tanpa itu tentu mati. Tetapi makan dan minum itupun wajib menurut aturannya.jangan asal suka, terus dimasukkan saja, sehingga perut menjadi sesak dan padat, penuh dan tidak ada kelonggarannya samasekali. Dan didalam ajaran Islam adab makan ini telah di contohkan oleh Rasullulah SAW. Sehingga para umat Islam hendaknya mengikuti ajaran beliau khususnya di sini mengenai adab makan.
Ada beberapa adab atau etika yang harus di lakukan sebelum makan yaitu: membaca basmalah (bismillah), makan dengan menggunakan tangan kanan dan tidak terlalu terburu-buru, Rasulullah saw. telah mengajarakan dan mendidik umatnya dengan semua adab-adab tersebut, karena di zaman jahiliyah mereka tidak pernah mempelajari hal tersebut.
Dari Abi Juhaifah radhiyallahu'anhu ia berkata: "aku sedang bersama Rasulullah saw. maka beliau bersabda kepada seseorang yang sedang bersama dengan beliau: saya tidak akan makan ketika saya sedang bersandar". Di keluarkan oleh Imam Bukhari. Dari Salmah bin al Akwa' ia berkata: sesungguhnya ada seseorang yang makan bersama dengan Rasulullah saw. dan menggunakan tangan kiri, maka Rasulullah saw. bersabda: makanlah dengan tangan kanan! Ia menjawab: saya tidak bisa (makan dengan tangan kanan), beliau saw. bersabda: kamu tidak mampu, tidak ada yang mencegahnya untuk (makan dengan tangan kanan) kecuali karena sombong". Berkata: maka ia tidak mengangkatnya (menyuapkannya makanan tersebut) ke mulutnya".
Dari Umar bin Abi Salamah radhiyallahu'anhu ia berkata: di waktu saya kecil saya berada di rumah Rasulullah saw. dan (ketika sedang makan) tangan saya meraba (semua makanan yang ada) di piring, maka Rasulullah saw. bersabda kepada saya: wahai anak! Bacalah basmalah (bismillah), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah apa yang ada di depanmu".Muttafaqun 'alaih (di sepakati oleh Bukhari dan Muslim) dan lafadz ini dari Imam Bukhari.
Imam an Nawawi rahimahullah menyebutkan mengenai faidah yang bisa di petik dari hadits Salamah yaitu di dalamnya terdapat memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar dalam setiap keadaan, sehingga walaupun dalam keadaan makan".
Di dalam kitab Fathul baari syarah shahih Bukhari Al Haafidz Ibn Hajar rahimahullah mengatakan: di dalamnya terdapat faidah memerintahkan yang makruf dan melarang dari mengerjakan yang mungkar, walaupun sedang dalam keadaan makan, di dalamnya di anjurkan untuk mengajarkan adab atau etika makan dan minum, dan di dalam hadits itu juga terdapat kemuliaan Umar bin Abi Salamah radhiyallahu'anhu karena melakukan apa yang di perintahkan serta senantiasa melaksanakannya".

Berikut beberapa adab makan yang dicontohkan oleh Rasullulah SAW:
1.      Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
Ibnu Majah dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa menginginginkan agar Allah memperbanyak kebaikan rumahnya, maka hendaklah ia berwudhu ketika santapannya datang dan diangkat."

2.      Membaca Basmalah sebelum makan dan Hamdalah sesudahnya
Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah r.a., Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu makan, hendaklah ia menyebut nama Allah Ta’ala (Basmalah). Dan apabila ia lupa menyebut nama Allah Ta’ala pada awalnya, maka hendaklah ia mengucapkan, Bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan akhirnya)."

3.      Tidak mencela makanan yang disajikan kepadanya.
Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa ia berkata: "Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah mencela suatu makanan pun. Apabila beliau berselera terhadap makanan itu, maka beliau memakannya, dan jika beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya."
4.      Makan dengan tangan kanan dan makanan yang dekat
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah r.a. Ia mengatakan: "Pernah aku menjadi seorang budak di bawah pengawasan Rasulullah saw. Ketika (makan), tanganku bergerak di tempat makanan, Rasulullah saw. menegurku, "Hai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat denganmu."
5.      Dianjurkan duduk ketika minum dan makan
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. dari Nabi saw.: "Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, "Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk."
6.      Jangan kekenyangan
Isi perut hendaklah dibagi tiga macam, yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk bernafas serta letak udara yang perlu dikosongkan, sehingga jiwa menjadi baik dan bersih. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan urusan makan minum ini, yaitu:

a)      Perut besar itu adalah rumah penyakit, sedang menjaga diri sebelum sakit adalah pokok pangkal pengobatan, karena jikalau telah sakit tentu sukar diobati dan tentu makan waktu untuk kesembuhannya. Oleh sebab itu berlaku sederhanalah dalam makan minum,

b)      Bukan banyaknya makanan yang menyebabkan kuatnya tubuh, tetapi makan secukupnya itulah yang membuat tubuh menjadi bersemangat dan menyebabkan kecerdikan dan berfikir.

c)      Jikalau perut sudah terisi banyak makanan, maka sempitlah jadinya untuk isi minuman. Jikalau sudah di isi terlampau banyak dengan minuman, maka sempitlah jadinya untuk diisi udara. Kalau demikian itu, terjadi, maka kelesuan, kemalasan, kelelahan akan menghinggapi orang yang berbuat semacam itu. Hal ini sangat membahayakan kesehatannya, sebab akhirnya akan sering sakit-sakitan tubuhnya dan jiwanya menjadi pemalas dan gemar menganggur, fikirannya tumpul dan hilanglah semangat kerjanya. Akibatnya timbullah berbagai angan-angan yang buruk dalam fikirannya.

Sabda Rasulullah: “Tiada seorang anak Adam (manusia)pun yang memenuhi sesuatu wadah yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah anak Adam (manusia) itu makan beberapa suap saja yang dapat mendirikan (menguatkan) tulang belakangnya. Oleh sebab itu, apabila perut itu mesti diisi, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga lagi untuk pernafasannya (jiwanya).”

Dari hal-hal di atas, maka dapatlah kita menilai, betapa tinggi ajaran yang diberikan oleh Rasulullah s.a.w. itu kepada ummatnya. Selanjutnya terserahlah kepada kita sendiri untuk melaksanakan atau mengabaikannya. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita agar kita dapat selalu mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajarannya itu. Amin.

C.    Adab Berkumpul dalam Pertemuan
Tempat-tempat pertemuan adalah tempat berkumpul dan bergaulnya orang-orang, terkadang  mereka melakukan hal-hal yang sesuai dengan syari’at dan terkadang sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan syari’at, jika Rasulullah saw. melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan syari’at maka beliau saw. akan memberikan peringatan tentang hal tersebut, sehingga tempat pertemuan mereka jauh dari  hal-hal yang bersifat kemungkaran dan etika-etika yang buruk, sehingga mereka di karuniai kemuliaaan dan cinta.
Oleh karena ini, seharusnya seorang muslim jika menghadiri pertemuan umum, seyogyanya memberikan nasihat terhadap orang-orang yang melakukan hal-hal yang keliru yang bertentangan dengan syari’at dan memberi tahukan mereka hal yang baik.
Sebuah hadits dari Tsaried bin Suwaid radiyallahu ‘anhu beliau mengatakan: “ Rasulullah saw. lewat (di depanku) sementara saya sedang duduk seperti ini, aku meletakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan aku bersandar pada aaliyah tanganku, maka beliau saw. mengatakan: kamu duduk dengan cara yang tidak di sukai oleh mereka”.
 Dari Jabir bin Samurah radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “ Rasulullah saw. keluar menemui kami, kemudian mengatakan: “  saya melihat kalian mengangkat tangan kalian seperti ekor-ekor kuda yang kepanasan? Diamlah ketika sedang shalat
Ia berkata: kemudian (orang-orang) keluar dengan berkelompok-kelompok, maka Rasulullah saw. berkata: mengapa saya melihat kalian berpisah-pisah? ('iziin) (HR. Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan: artinya larangan untuk berpisah-pisah dan perintah untuk berkumpul dan bersama-sama”.
      Dari Abi Tsa’labah al Khasyni radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “ orang-orang jika turun dari suatu tempat, maka mereka berpisah di jalan-jalan, maka Rasulullah saw. bersabda: “ jika kalian terpisah-pisah seperti ini di jalan-jalan, sesungguhnya hal tersebut adalah dari setan”. Maka tidak ada yang turun dari suatu tempat setelah hal ini kecuali mereka bersama-sama dan bergabung satu sama lain, sampai di katakan: jika seandainya di bentangkan suatu kain di atas mereka maka kain itu akan menutupi mereka semua. (HR. Abu Daud)
Dari Ibn ‘Umar radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “ seseorang berserdawa (tajassya’) ketika sedang bersama dengan Rasulullah saw. maka beliau SAW bersabda: “ jaga serdawamu dari kami, karena orang-orang yang paling lama laparnya pada hari kiamat ialah orang yang paling banyak kenyang di dunia”. (HR. Ibn Majah dan lafadz ini darinya).
Di antara hal yang sering terjadi di sebagian tempat-tempat pertemuan ialah aib kedustaan, dari pembicaraan-pembicaraan atau kisah-kisah dan hal-hal yang lain yang sifatnya dusta yang bisa di jadikan sebagai bahan guyonan atau candaan, dan hal semacam ini di kategorikan oleh Rasulullah SAW sebagai dusta.
Dari Abdullah bin Zam'ah radhiyallahu 'anhu ia berkata: kemudian Rasulullah saw. menasihati mereka terhadap apa  yang mereka tertawakan yaitu (seseorang) yang membuang angin, beliau saw. bersabda: mengapa salah seorang di antara kalian tertawa terhadap apa yang mereka telah lakukan?

AMANS - 16.52

Good Governance

  1. PENDAHULUAN
Dalam masa pemerintahan orde lama dan orde baru banyak sekali terjadi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi di negara Indonesia ini, antara lain terjadinya kesalahan kebijakan, penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam konteks penyelenggaraan fungsi dan pemerintahan. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat ditelusuri melalui bidang ekonomi, politik dan budaya yang di terapkan pada masa lalu.
Kesalahan kebijakan yang diterapkan diindonesia pada masa itu antara lain:[1]
1.    Kebijakan otonomi pusat tanpa menghiraukan daerah.
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat.
2.    Transmigrasi yang mendapatkan tunjangan berlebih.
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya.
3.    Pembatasan kebebasan berpendapat.
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
 Dalam bidang ekonomi yaitu terdapat kesalahan penerapan kebijakan pemerintah, sehingga terjadi banyaknya kemiskinan di indonesia yang mana sampai pada tingkat memprihatinkan, dan bahkan sampai sekarangpun persoalan itu belum dapat terselesaikan. Padahal sesuai yang kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah negara yang melimpah akan sumber daya alamnya. Akan tetapi kenyataannya berbanding terbalik antara kesejahteraan masyarakatnya dengan jumlah sumber daya alamnya. Sedangkan dalam bidang politik banyak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan, dimana pemerintahan didominasi orang-orang tertentu sehingga penyelenggaraan negara terhadap rakyat secara tidak lansung membuat ketimpangan pemberlakuan hukum bagi pelaksanaan pemerintahan dengan rakyatnya sendiri,
Dalam bidang budaya yaitu terdapat kesalahan kebijakan pada adanya dominasi budaya tertentu,sehingga budaya lokal tidak tergali dan tidak terkenal dalam kancah nasional. Sehingga sampai-sampai budaya indonesia diakui oleh negara lain,[2] Karena  ketidaktegasan pemerintah untuk melestarikan budaya asli negara Indonesia.Keadaan yang terjadi di orde lama dan orde baru mengalami perubahan pada masa sekarang ini yaitu di era reformasi, yang diawali dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Pada era reformasi ini masyarakat lebih mempunyai kebebasan memantau negara melalui media-media komunikasi dan informasi (kebebasan pers), selain itu adanya kebebasan mengeluarkan pendapat. Akan tetapi masih banyak sekali pekerjaan pemerintah untuk mewujudkan negara ini menjadi negara yang sejahtera.
 Dalam makalah ini berisi pemaparan dari pengertian good governance, urgensi good governance, prinsip-prinsip good governance, dan implementasinya di Indonesia. Diharapkan juga dengan penulisan makalah ini dapat menambah wawasan tentang good governance secara lebih mendalam. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran semua lapisan untuk menjalankan tata pemerintahan yang baik.
B.   PENGERTIAN GOOD GOVERNANCE
Menurut bahasa Good Governance berasal dari dua kata yang diambil dari bahasa inggris yaitu Good yang berarti baik, dan governance yang berarti tata  pemerintahan.Dari pengertian tersebut good governance dapat diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik. atau pengelolaan/ penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.
Good governance didefinisikan sebagai suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik secara umum. Arti good dalam good governance mengandung pengertian nilai yang menjunjung tinggi keinginan rakyat, kemandirian, aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien. Governance (tata pemerintahan) mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik sangat tergantung dari ketiga lembaga yang menyusun governance tersebut yaitu pemerintah (government), dunia usaha (swasta), dan masyarakat. Ketiga domain itu harus saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Ketiga lembaga ini harus menjaga kesinergian dalam rangka mencapai tujuan, karena ketiga domain ini merupakan sebuah sistem yang saling ketergantungan dan tidak dapat dipisahkan.
Ada kaitan erat antara governance (tata pemerintahan) dengan government (pemerintah), dimana government lebih berkaitan dengan lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola administrasi pemerintahan. Kalau Tata Pemerintahan (Governance) lebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-baiknya antar elemen yang ada. Dengan demikian cakupan tata Pemerintahan (Governance) lebih luas dibandingkan dengan Pemerintah (Government), karena unsur yang terlibat dalam Tata Pemerintahan mencakup semua kelembagaan yang didalamnya ada unsur Pemerintah (Government).
Hubungan antara Pemerintah (Government) dengan Tata Pemerintahan (Governance) bisa diibaratkan hubungan antara rumput dengan padi. Jika hanya rumput yang ditanam, maka padi tidak akan tumbuh. Tapi kalau padi yang ditanam maka rumput dengan sendirinya akan juga turut tumbuh. Jika kita hanya ingin menciptakan pemerintah (Government) yang baik, maka tata pemerintahan (Governance) yang baik tidak tumbuh. Tapi jika kita menciptakan Tata Pemerintahan (Governance) yang baik, maka pemerintah (Government) yang baik juga akan tercipta.

Lembaga yang kedua yaitu dunia usaha (swasta) yang mampu mempengaruhi atau menunjang terbentuknya pemerintahan yang baik. Dunia usaha berperan dalam meningkatkan nilai pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara,semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dunia usaha maka semakin maju juga perekonomian negara. Sedangkan peran negara disini sebagai pengontrol pihak swasta agar tidak semaunya sendiri dalam melakukan kebijakan-kebijakan. Misalnya pemerintah menetapkan nilai jual terendah dan tertinggi suatu barang tertentu.
Masyarakat sebagai lembaga ketiga sangat berpengaruh dalam konsep good government ini, karena masyarakat adalah indikasi yang paling nyata untuk mengetahui apakah suatu negara itu sejahtera atau tidak. Masyarakat berperan sebagai pengontrol pemerintah apabila terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam melaksanakan pemerintahanyya. Sedangkan pemerintah harus memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Misalnya pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan kebijakan-kebijakan yang lainnya, yang berhubungan dengan kepentingan umum.
Hubungan antara dunia usaha dengan masyarakat dapat dilihat  dari aktivitas pasar, dimana disitu saling ketergantunagan antara keduanya. Dunia usaha membutuhkan konsumen (masyarakat) untuk tetap dapat melangsungkan dan mengembangkan usahanya. Begitu juga dengan masyarakat sangat tergantung dengan dunia usaha untuk dapat melangsungkan dan memenuhi kebutuhannya. Semua lembaga-lembaga pembentuk governance saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila ada salah satu yang tidak melaksanakan perannya dengan baik maka good governance sulit untuk diwujudkan.
  1. Urgensi Good Governance
Good gavernance adalah pemerintahan yang baik dalam standar proses dan maupun hasil-hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat proses pembangunan. Dikategorikan pemerintahan yang baik, jika pembangunan itu dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal menuju cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran, memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, kesejahteraan spritualitasnya meningkat dengan indikator masyarakat rasa aman, tenang, bahagia dan penuh dengan kedamaian.
Pada era sekarang ini Indonesia terasa sangat perlu untuk menerapkan konsep-konsep good governance dalam segala aspek kepemerintahannya. Menurut  Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang melakukan survei pada saat peringatan satu tahun pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebutkan bahwa pemerintahan SBY menghasilkan dua rapor biru dan empat rapor merah. 
Empat angka merah itu diberikan untuk kinerja hubungan internasional, kinerja ekonomi, kinerja hukum dan kinerja politik. Kinerja pemerintahan SBY dalam hubungan internasional dinilai sangat buruk karena konflik antara Indonesia-Malaysiayang penangananya yang sangat buruk. Sedangkan dua angka biru didapat dalam bidang keamanan dan sosial, bidang keamanan contohnya penyelesaian konflik di Aceh, sedangkan dalam bidang sosial tanggap menghadapi bencana.[4]
Dengan fakta survei tersebut good governance seyogyanya diterapkan di negara Indonesia ini supaya cita-cita bangsa indonesia menjadi negara yang makmur segera terwujud. Good governance ini harus di dukung oleh semua lembaga yang menyusun governance itu sendiri. 
D. Prinsip Good Governance[6]
1.Participation (partisipasi) : Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, serta memberi dorongan bagi warga untuk menyampaikan pendapat secara langsung atau tidak langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
2.Rule of law (penegakan hukum): Memastikan bahwa penegakan dan perlindungan hukum dilakukan secara adil dan tanpa diskriminasi dan mendukung hak asasi manusia dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam  proses mewujudkan cita-cita good governance harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakan hukum yang mempunyai karakter sebagai berikut, supermasi hukum, kepastian hukum, hukum yang responsive, penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif, dan independensi peradilan.
3.Tranparency (Transparansi) : Keterbukaan menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pengelola pemerintahan harus mampu memberikan cukup informasi bagi masyarakat, dan memudahkan akses informasi yang akurat jika dibutuhkan publik.
4.Responsiveness (responsif) : Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap pihak yang berkepentingan (stakeholders). Meningkatkan respons dari aparat pemerintah untuk mengatasi masalah, komplain, dan aspirasi dari masyarakat, untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
5.Consensus orientation (orientasi kesepakatan) : Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas.
6.Equity (Keadilan) : Proses pengelolaan pemerintah harus memberikan peluang, kesempatan, pelayanan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan. Tidak seorang atau sekelompok orangpun yang teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan pemerintah seperti ini akan memperoleh legitimasi yang kuat dari public dan akan memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat.
7.Effectiveness and effisiency : Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan sumber yang tersedia dengan baik. Memberikan pelayanan yang dibutuhkan  masyarakat luas, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bijaksana.
8.Accountability : Pembuat keputusan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders dalam semua hal (politik, fiscal, anggaran) yang sesuai tugas dan fungsinya. Indikator minimal akuntabilitas antara lain :
*adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan.
*adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan dan kelalaian dalam melaksnakan tugas.
*Adanya output dan income yang terukur
9.Strategic vision : Para pemimpin dan publik harus mempunyai perpektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan. Kemampuan untuk memformulasikan suatu strategi yang didukung oleh sistem anggaran yang menunjang, sehingga warga merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk terus meningkatkan pembangunan.
E. Implementasinya Di Indonesia
Di era pemerintahan orde baru, salah satu citra buruk pemerintahan ditandai dengan saratnya KKN telah membuat fase sejarah dalam kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia, sebagai kelanjutannya muncullah reformasi. Di antara isu reformasi yang diwacanakan oleh para elit politik adalah good gavernance. Konsep good gavernance secara bertahap menjadi semboyan yang populer di kalangan pemerintahan, swasta dan masyarakat pada umumnya. Sehingga jadilah ide good gavernance menjadi suatu harapan dan konsep yang diusung oleh semua lapisan masyarakat umum di republik ini. Namun yang menjadi pertanyaan kita smua, apakah konsep good governance sudah di laksanakan dan dijalankan di negara indonesia ini? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat ditelusuri dari indikator di bawah ini, seandainya indikator di bawah ini sudah terpenuhi dan tercukupi maka dapat dipastikan bahwa good governance sudah terlaksana di indonesia ini. Sebenarnya indikator ini adalah tugas dari domain/lembaga yang pembentuk good governance itu sendiri. Indikator  tersebut antara lain:[7]
1.   Pemerintah
a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil.   
b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan.
c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable.      
d. Menegakkan HAM.
e. Melindungi lingkungan hidup.                                           
f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.

2.  Sektor Swasta (Dunia Usaha)
a. Menjalankan industri b. Menciptakan lapangan kerja    
c. Menyediakan insentif bagi karyawan
d. Meningkatkan standar hidup masyarakat                         
e. Memelihara lingkungan hidup                   
f. Menaati peraturan
g. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat           
h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3.  Masyarakat Madani
a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi               
b. Mempengaruhi kebijakan publik
c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah                       
d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
e. Mengembangkan SDM                                                        
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Dari indikator diatas ini sudah terjawablah pertanyaan kita diatas bahwasannya good governance masih belum sepenuhnya terlaksana di negara indonesia ini. Namun negara indonesia sudah mulai mengarah kesana yaitu ditandai dengan banyaknya terungkap kasus-kasus kejahatan dalam pemerintahan yang merugikan negara, mulai stabilnya saham indonesia, dan ikut sertanya masyarakat dalam mengawasi pemerintahan, serta kebebasan pers sudah mulai dirasakan. Dengan demikin sudah dapat dipastikan bahwa semua domain-domain pembentuk good governance harus berperan aktif agar good governance terwujud di negara ini.
F. PENUTUP & KESIMPULAN
            Pada bagian ini dapat disimpulkan bahwa negara indonesia  masih dalam proses untuk mencapai tata pemerintahan yang baik. Good governance dirasa sangat perlu karena  banyak manfaat yang di dapat dari terselenggaranya pemerintahan yang baik,misalnya:[8]
1.Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi.
2.terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang bersih, efisien,efektif,transparan,profesional dan akuntable.
3.terhapusnya perUU-an dan perlakuan  yang diskriminatif  terhadap warga negara,kelompok dan golongan masyarakt.
4.meningkatkan partisipasi masyarakat  dalam pengembangan kebijakn publik.
5.terjaminya konsistensi  dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan,baik ditingkat pusat ataupun di tingkat daerah.
   Untuk mewujudkan Good Governance dibutuhkan komitmen kuat, daya tahan dan waktu yang tidak  singkat ,diperlukan pembelajaran, pemahaman serta implementasi nilai-nilai kepemerintahan yang baik  pada seluruh pihak yang terkait dengan good governance. Selain itu perlu adanya kesepakatan bersama dan rasa optimistik dari seluruh komponen yang ada bahwa kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mewujudkan bangsa dan negara yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Abdul rozak dkk, Buku Suplemen Pendidikan Kewargaan HAM dan Masyarakat Madani(2004,tim ICC UIN Syarif hidayatullah ,Jakarta)
Azra,Ayumardi, Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani (tim ICC UIN syarif hidayatullah ,Jakarta)
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29
http://kepriprov.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=248&Itemid=97.
http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penerapan-goodgovernancedi-sektor-publik-untuk-meningkatkan-akuntabilitas-kinerja-lembaga-publik.
Tribun Kaltim, edisi 21 oktober 2010.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29
[2].Abdul rozak dkk, buku suplemen pendidikan kewargaanHAM dan masyarakat madani(2004,tim ICC UIN syarif hidayatullah ,Jakarta)hal.144
[3] http:/www.slideshare.net/DadangSholihin/penerapan-goodgovernancedi-sektor-publik-untuk-meningkatkan akuntabilitas-kinerja-lembaga-publik  page5.
[4]. Koran  Tribun Kaltim, edisi 21 oktober 2010.hal.1dan 9
[5] http:/www.slideshare.net/DadangSholihin/penerapan-goodgovernancedi-sektor-publik-untuk-meningkatkan akuntabilitas-kinerja-lembaga-publik  page 9
[6] Azra,Ayumardi,Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani (Tim ICC UIN Syarif  Hidayatullah ,Jakarta)hal.182

[7] http://kepriprov.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=248&Itemid=97.
[8] http://www.slideshare.net/DadangSolihin/penerapan-goodgovernancedi-sektor-publik-untuk-meningkatkan-akuntabilitas-kinerja-lembaga-publik.page.10

AMANS - 16.50

البيقونية

منظومة البيقونية في علوم الحديث
قدمه محمد يمين بن مسرون أمبري
مادة المحاضرة في شعبة التربية للجامعة الإسلامية الحكومية سمارندا
STAIN SAMARINDA

أبدأ بالحمد مصليا على * محمد خير نبي أرسلا*
وذي من أقسام الحديث عده * وكل واحد أتى وحده * أولها الصحيح وهو ما اتصل * إسناده ولم يشذ أو يعل*  يرويه عدل ضابط عن مثله * معتمد في ضبطه ونقله * والحسن المعروف طرقا وغدت * رجاله لا كالصحيح اشتهرت
* وكل ما عن رتبة الحسن قصر * فهو الضعيف وهو أقساما كثر* وما أضيف للنبي المرفوع * وما لتابع هو المقطوع * والمسند المتصل الاسناد من * راويه حتى المصطفى ولم يبن* وما بسمع كل راو يتصل * إسناده للمصطفى فالمتصل * مسلسل قل ما على وصف أتى * مثل أما والله أنباني الفتى *كذاك قد حدثنيه قائما * أو بعد أن حدثني تبسما * عزيز مروي اثنين أو ثلاثه * مشهور مروي فوق ما ثلاثه * معنعن كعن سعيد عن كرم * ومبهم ما فيه راو لم يسم *وكل ما قلت رجاله علا * وضده ذاك الذي قد نزلا * وما أضفته إلى الاصحاب من* قول وفعل فهو موقوف وكن * ومرسل منه الصحابي سقط * وقل غريب ما روى راو فقط وكل ما لم يتصل بحال * إسناده منقطع الاوصال والمعضل الساقط منه اثنان * وما أتى مدلسا نوعان الاول الاسقاط للشيخ وأن * ينقل عمن فوقه بعن وأن والثان لا يسقطه لكن يصف * أوصافه بما به لا ينعرف وما يخالف ثقة به الملا * فالشاذ والمقلوب قسمان تلا إبدال راو ما براو قسم * وقلب إسناد لمتن قسم والفرد ما قيدته بثقة * أو جمع أو قصر على رواية وما بعلة غموض أو خفا * معلل عندهم قد عرفا وذو اختلاف سند أو متن * مضطرب عند أهيل الفن * والمدرجات في الحديث ما أتت * من بعض ألفاظ الرواة اتصلت وما روى كل قرين عن أخه * مدبج فاعرفه حقا وأنتخه * متفق لفظا وخطا متفق * وضده فيما ذكرنا المفترق * مؤتلف متقق الخط فقط * وضده مختلف فاخش الغلط * والمنكر الفرد به راو غدا * تعديله لا يحمل التفردا * متروكه ما واحد به انفرد * وأجمعوا لضعفه فهو كرد والكذب المختلق المصنوع * على النبي فذلك الموضوع وقد أتت كالجوهر المكنون * سميتها منظومة البيقوني فوق الثلاثين بأربع أتت * أقسامها تمت بخير ختمت




علم الجرح والتعديل
عصر الرواية
علم أسباب الورود
علم معرفة البلدان
علم التخريج
علم النقل والأداء
تقليل الرواية
أنظروا عمن تأخذوا دينكم
الجرح مقدم علي التعدي

AMANS - 16.49

Muhkam Mutasyabih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ilmu muhkam wal Mutasyabih di latar belakangi oleh adanya perbedaan pendapaulamatentang adanya hubungan suatu ayat atau surat yang lain. Sementara yang lain mengatakan bahwa didalam Al-Qur’an ada ayat atau surat yang tidak berhubungan, di sebabkan pendapat ini, maka suatu ilmu yang mempelajari ayat atau surat Al-Qur’sn cukup penting kedududkannya.

B. Pembatasan masalah
Untuk lebih lanjut terarahnya penulisan makalah ini, maka penulis membatasi sebagai berikut :
1. Pengertian Al-Muhkam wal Mutasyabih.
2. Sikap Ulama terhadap ayat-ayat Muhkam wal Mutasyabih.
3. Fawatill Al-Suwar.

4. Hikmah adanya ayat-ayat Al-Muhkam wal Mutasyabih.

C. Tujuan Pembahsan
1. Untuk menambah ilmu pengetahuan kita, dalam memahami tentang ilmu Muhkam wal Mutasyabih.
2. Untuk bahasan dalam mata kuliah Ulumul Qur’an.
3. Untuk memenuhi tugas terstuktur padamata kuliah Ulumul Qur’an.

BAB II
AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH

A. PENGERTIAN AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH,
1. Al-Muhkam,
Muhkam berasal dari kata Ihkam yang bearti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminology muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain. Contoh surat Al- Baqarah ayat 83 :

Artimya : “dan ketika kami mengambil janji dari anak-anak Israel : tidak akan menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikankepada
Ibu,Bapak dan kerabat dekat dan anak-anak-piatu dan orang- oarng miskin, dan ucapkanlah kata yang baik kepada manusia, dan kerjakanlah sembahyang dan bayarlah zakat, kemudian itu kamu berpaling kecuali sebagian kecil dari padamu dan kamu tidak mengambil perduli”

2. Al-Mutasyabih
kata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyahabad Isttabaha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya. Sedangkan secara terminology Al Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelasmaksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau Allah yang mengetahuinya. Contoh surat Thoha ayat 5 :

Artinya : “( Allah ) yang maha pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arasy”.

Secara istilah, para Ulama berbeda pendapat dalam merumuskanMuhkam dan Mutasyabih. Al- Suyuti telah mengemukakan 18 definisi atau tempat yang diberikan Ulama. Al-Zarqani mengemukakan 11 definisi yang sebagian dikuip dari Al-Suyuti.
Diantara defenisi yang dikemukakan Al-Zakqarni adalah :

1. Pendapat Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
? Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh.
? Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi ( maknanya ), tidak diketahui maknanya baik secra akil maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetauhinya , seperti datangnya kiamat , huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat.

2. Pendapat dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka.
? Muhkam ialah ayta yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun Takwil.
? Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah lah yang mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kiamat, kelurnya Dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat.

3. Pendapat dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli fikih mengikutinya.
? Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna Takwil.
? Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak Takwil.

4. Pendapatini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
? Muhkam ialah ayat yang tidak berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan.
? Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri tetapi memerlukan keterangan.

5. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
? Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya.
? Mutasyabih ialah ayat yang seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi / melalui konteksi.

6. Pendapat Al-Thibi.
? Muhkam ialah ayat yang jelas maknya dan tidak masuk kepadanya isykal ( kepelikan ).
? Mutasyabih ialah lawannya.

7. Pendapat dibangsakan kepada Imam Al-Razi dan banyak peneliti yang memilih.
? Muhkam ialah ayat yang ditujukan makna kuat, yaitu lafal Al-Qur’an nas dan lafal zahir sunah.
? Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil.

B. SIKAP ULAMA TERHADAP AYAT-AYAT MUTASYABIH DAN AYAT-AYAT MUHKAM

Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat Mutasyabih dapat dibagi 3 ( tiga ) macam :
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat mengetahui maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hari kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah. Sebagian mana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 59 :
Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri.

2. Ayat-ayat yang setiap orang bias mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat : Hutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutannya, dan seumpamanya.
Contoh surat An-Nisa’ ayat 3 :

Artinya : “dan jika kamu takut tidak adakn dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita”.

3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid. Sebagai mana diisyaratkan oleh Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas :

Artinya :“ Ya Tuhanku, jadikanlah seseorang yang paham dalam agama,dan ajarkanlah kepada takwil”.

Mengenal ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah, pendapat Ulama terbagi kepada dua mazhab :

1. Mazhab salaf.
Yaitu mazhab yang mempunyai dan mengimani sifat-sifat Allah yang Mutasyabih, dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah.
2. Mazhab Khakaf.
Yaitu Ulama yang menakwilkan lafal yang maknanya lahirnya musthahil kepada makna yang baik bagi zat Allah, contohnya mazhab ini mengartikan mata dengan pengawasan Allah, tangan diartikan kekuasaan Allah, dan lain-lain.

Pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara pendapat Ulama tersebut, permasalahannya hanya berkisar pada perbedaan dalam menakwilkannya. Secara teoritis pendapat Ulama dapat di kompromikan, dan secara praktis penerapan mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang dan kritis. Dengan melihat kondisi obyektif intelektual masyarakat modern yang semakin berpikirkritis dewasa, maka mazhab khalaf atau mazhab takwil ini yang lebih tepat diterapkan dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan mengikuti ketentuan takwil yang dikenal dengan ilmu tafsir.

C. FAWATIB AL-SUWAR.
Fawatib Al-Suwar yaitu pembukaan-pembukuan surat yang dimulai dengan potongan-potongan huruf, yang ada umumnya terdapat pada pembukuan ayat atau surat makkiah / huruf- huruf hijaiyah. Pembukuan surat ini ada yang terdiri dari dua huruf, enam huruf, lima huruf dan lain-lain. Seperti : Dalam hal ini ada beberapa pendapat Ulama diantaranya yaitu :
1. Ulama memahami Fatwatil Al-Suwar ini sebagai rahasia hanya Allah yang mengetahuinya.
2. Ulama ini mengatakan bahawa huruf-huruf awal surat sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian dapat dipahami oleh menusia, karena pengnut pendapat ini memberi pengertian kepada ayat ini :
Contoh :
Yang berarti “Aku Allah yang Melihat”.
Sedangkan sebagian Ulama memnadang huruf ini sebagai peringatan ( tanbih ) kepada agar Ulama waktu kesibukannya dengan urusan manusia berpaling kepada Jibril untuk mendengar ayat-ayat yang akan disampaikan kepadanya. Sebagian yang lain memandang sebagai peringatn kepada orang Arab agar mereka tertarik mendengarnya.

Pendapat Ulama tentanghuruf hijaiyah pembuka surat.

a. Az Zamakhsari berkata dalam tafsirnya “Al- Qasysyaf” hururf-huruf ini ada beberapa pendapat, yaitu :
1. Merupakan nama surat.
2. Sumpah Allah
3. Supaya menarik hati orang yang mendengarnya.

b. As Suyuti menakwilkan pendapat Ibnu Abbas tentang huruf tersebut sebagai berikut :
Dikatakan bahwapendapat itu hanya ,erupakan anggapan belaka, kemudian As-SSuyuti menerangkan bahwa hal itu suatu rahasia yang hanya Allah lah yang mengetahuinya.

c. Al- Quwabi mengatakan bahwasannya kalimat itu merupakan tambih bagi Nabi, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadapa apa yang disampaikan kepadanya.

d. As-Sayid Rasyid Ridha tidak membenarkan Al-Quwabi karena Nabi senantiasa menunggu kedatangan wahyu, Ia erpendapat sesuai dengan Ar-Rasi, bahwa tambih sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang kafir apabila nabi membaca Al-Qur’an mereka menganjurkan satu sama lain untuk tidak mendengarkannya.

e. Ulama salaf berpendapat bahwa fawati Al-Suwar telah disusun sejak zaman azali sedemikian rupa supaya melengkapi segala yang melemahkan manusia dari yang didatangkan seperti Al-Qur’an.

Oleh karena itu I’Tikad bahwa huruf-huruf ini telah sedemikian dari azalinya, maka banyaklah orang tidak berani mengeluarkan pendapat tentang huruf-huruf itu, orang menganggap huruf itu termasuk golongan mutasyabihat yang hanya Allah lah yang mengetahuinya.

D. HIKMAH ADANYA AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DAN AL- MUHKAM

1. Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upayayang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Jika ayat-ayat Al-Qur’an mengandung ayat Mutasyabihat maka untuk memehami diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya, hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti Bahasa, Gramatika, Ma’ni, Ilmu Bayan, Ushul Fiqih, dan sebagainya.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak mengetahui segala sesuatu.
4. Ayat ini juga merupakam cobaan bagi manusia apakah mereka percaya atau tidak tentang hal yang gaib.
5. Ayat ini menjadi dalil atas kebodohan dan kelemahan manusia.
6. Ayat ini dalam Al-Qur’an menguatkan kemukjjizatannya.

C. PENUTUP

Demikianlah makalah ini yang bisa kami sampaikan dan sajikan. Segala kritik dan saran kami tunggu untuk melengkapi segala kekuranga. Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca maupun para pendengar mampu memahami, mengkaji dengan seksama, sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan semoga dengan adanya makalah ini dapat menjadi khasanah dan menjadikan motivasi dalam membuat makalah yang lebih sempurna.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang, Dina Utama, 1989.
Ichwan, Mohammad Nor, Memahami Bahasa al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Al-Qaththan, Manna, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta, Pustaka Litera Antar Nusa, 1973.
Mansyur, Kahar, H. Drs, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Jakarta, Renika Cipta, 1992.
Syadali, Ahmad, H.Drs, Rofi’I, Ahmad H. Drs. Ulumul Qur’an I, Bandung, Pustaka Setia, 2006.
Supiana, M.Ag. Karman, Muhammad, M.Ag. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.

AMANS - 16.44

Pembagian Hadits

BAB I
PENDAHULUAN
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri.
Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek
BAB II
PEMBAGIAN HADITS
Hadits dapat dibagi kepada beberapa bagian diantaranya :
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
• Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga:
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
2. Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih.
3. Hadits Ahad
a. Pengertian hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadits ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. PembagianHaditst Berdasakan Kualitas :
• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
Syarat hadits Sahih adalah
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b. Kedhabitan perawinya sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak ada cacat atau illat.
e. Matannya tidak syaz atau janggal.
Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
2. Hadits Hasan
Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
3. Hadits Daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;
1. Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan.
b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;
1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
D. Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
Pembagian hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi) dalam sanad, dan terbagi lagi kepada ;
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda
PENUTUP
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut; Pertama, dalam perkembangan masa hadits dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara garis besar hadits dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
Kedua, munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadits sebagai hadits, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadits agar tergugah untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadits sehingga dapat membedakan mana yang termasuk bagian hadits dan yang bukan.
Dari makalah diatas dapat kami rangkum beberapa hal antara lain :
Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga yaitu :
o Mutawatir
o Aziz
o Ahad
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu :
o Shahih
o Hasan
o Dho’if
Syarat hadits Sahih adalah :
o Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
o Kedhabitan perawinya sempurna.
o Sanadnya bersambung
o Tidak ada cacat atau illat.
o Matannya tidak syaz atau janggal.
Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam :
o Qauli
o Fi’li
o Taqriri
o Qauni
o Hammi
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
————, Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999

AMANS - 16.42