BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang
Manusia memiliki kecenderungan untuk berbudaya. Manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Manusia diberikan kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan,
mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Manusia dituntut menggunakan pikiran untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia
mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Manusia dituntut menggunakan pikiran untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia
Agama dan budaya memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang–orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agam dan posisi Budaya pada suatu kehidupan. Kita masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai agama dengan nilai – nilai budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi terjaganya nilai – nilai agama dan memberi pengertian serta menjelaskan hubungan antara Islam dan Kebudayaan, disini penulis hendak mengulas mengenai agama (khususnya Islam) dan Kebudayaan , yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Islam dan Kebudayaan”. Kami berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi panduan pembaca dalam mengaplikasikan dalam kehidupan sehari hari yang berkaitan dengan Islam dan Kebudayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam dan Kebudayaan.
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.[1] Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah.[2]
Adapun pengertian Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran dalam semua aspek kehidupan.
Berdasarkan keterangan tersebut, Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia/Nabi Muhammad saw. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai orang yang ditugasi Allah untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan tata cara ibadahnya. Keterlibatan nabi ini pun berada dalam bimbingan wahyu Allah swt.
Sedangkan kebudayaan ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain megatakan juga bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, rasa dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.[3]
Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoreningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.[4]
Endang Saifuddin Anshari, merumuskan bahwa ‘kebudayaan (kultur) adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan,dll) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan dan penghidupan manusia,sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik individu maupun masyarakat, ataupun individu dan masyarakat.[5]
Memahami penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa Islam merupakan suatu agama yang bersumber dari Allah SWT yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW , sedangkan Budaya merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang di hasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia.
B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kebudayaan dalam Islam
Ajaran Islam mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup besar bagi kemajuan peradaban dunia.
Namun Islam tidak menerima begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada. Karena jika demikian Islam seolah-olah dipahami tidak memiliki nilai-nilai dasar bagi pengembangan kebudayaan. Ada sejumlah prinsip dasar yang terkandung di dalam Alquran dan hadits, sehingga umat Islam dapat mengembangkan kebudayaan secara maksimal. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:[6]
1. Penghargaan terhadap akal fikiran
Islam menempatkan akal fikiran dalam posisi yang tinggi, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Ali Imran:190, 191:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
ِArtinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S.3:190,191).”
2. Anjuran menuntut ilmu
Anjuran atau dorongan Islam agar umat Islam menguasai ilmu pengetahuan ini antara lain dijelaskan dalam surah al-Mujadalah: 11 berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ(11)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S.58:11).”
Hadis nabi berbunyi: ”Menuntut Ilmu itu wajib atas tiap-tiap orang Islam, laki-laki maupun perempuan”.Dalam hadist lain juga dinyatakan: “Tutututlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.
3. Larangan untuk taklid
Kecaman Allah terhadap orang yang taklid antara lain dijelaskan Alquran sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra: 36 berbunyi:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا(36)
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(Q.S.17: 36).
4. Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
Penghargaan Islam akan nilai suatu kreasi dijelaskan lewat keterangan hadis nabi: “Barangsiapa memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan mendapat ganjaran orang-orang yang mengerjakan cara yang baik itu sampai hari kiamat”.
5. Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Dorongan agar manusia berhasil di dalam kehidupan dunia dijelaskan oleh Alquran surat Al-Qashas:77 yang berbunyi:
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ(77)
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S.28: 77).
Hadist: “Bekerjalan untuk keduniaanmu, seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok hari”
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “.
- Hubungan Islam Dengan Kebudayaan
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.[7]
Para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. [8]
a) Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel.
b) Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama.
c) kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa ajaran Islam pun juga mendorong manusia untuk berbudaya. Akan tetapi sebelum Islam datang, sudah ada kebudayaan yang telah berkembang sebelumnya. Dan tentunya kebudayaan tersebut ada yang mengandung kebaikan dan ada yang mengandung keburukan atau kebatilan. Mengapa dikatakan begitu? Karena pada dasarnya akal manusia mampu untuk mengenali atau mengidentifikasi mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.
Adat istiadat dan tradisi ada kalanya yang dapat mewujudkan kebaikan bagi umat manusia pada salah satu sisi kehidupan manusia, yang tidak ada nash agamanya, kecuali pengarahan terhadap tujuan yang umum. Ketika itulah peran akal melakukan ijtihat untuk mencari kehendak ilahi, dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mungkin bisa dikatakan bahwa adat istiadat atau kebudayaan ataupun tradisi yang kebaikannya Nampak (mengandung kebaikan) adalah kehendak Ilahi.;ia dapat dianggap sebagai hukum agama yang disandingkan dengan tatanan agama secara menyeluruh, meliputi berbagai bidang kehidupan. Pada saat itulah kenyataan hidup berperan dalam memahami agama berdasarkan tradisi yang baik. Ia dianggap sebagai bagian agama ketika tidak ada nash yang berkaitan dengannya, dan ketika tidak bertentangan dengan nash yang ada.[9]
Islam dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Ajaran islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, sedangkan kebudayaan adalah realitas keberagamaan umat Islam tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa wujud nyata dari pengamalan ajaran agama islam itu mampu dilihat dari kebudayaan dan kehidupan nyata para pemeluk agama Islam tersebut.
Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebut adalah hasil penalaran para penganut agama dari sumber agama yaitu wahyu. Salah satu contohnya yaitu ketika kita membaca kitab fiqih, kitab fiqih tersebut merupakan pelaksanaan dari nash Al-quran maupun hadist yang melibatkan penalaran dan kemampuan manusia. Pelaksanaan fiqih dalam kehidupan sehari-hari itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama tersebut berkembang. Dengan pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mangamalkan ajaran agama tersebut.[10]
Misalnya dalam kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Unsur agama ikut berinteraksi dalam kebudayaan tersebut. Pakaian model jilbab, kebaya dapat dijimpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.
- Kebudayaan dalam Pandangan Islam.
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Ada tiga jenis kebudayaan dalam pandangan Islam[11]
- Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan “ al adatu muhkamatun “ artinya “adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hukum” bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat.
Salah satu contoh kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam seperti kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gr emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam. kemudian di rekonstruksi sehingga menjadi Islami.
Contohnya, kebudayaan masyarakat yang melaksanakan upacara tujuh hari orang meninggal ataupun empat puluh hari orang meninggal. Upacara semacam itu tidak ada tuntunannya dalam Islam, tetapi Islam mencoba merekonstruksi upacara-upacara tersebut agar menjadi lebih Islami, yaitu dengan pembacaan kitab suci Alquran pada saat pelaksanaan upacara-upacara tersebut. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk “ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.
“Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Abu Bakar Siddik ditugaskan oleh Rasulullah SAW sebelum haji wada untuk memimpin satu kaum pada hari Nahar melakukan haji, kemudian memberitahukan kepada orang banyak, suatu pemberitahuan: Ketahuilah! Sesudah tahun ini orang-orang Musyrik tidak boleh lagi haji dan tidak boleh thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang. Sebelum Islam, orang-orang musyrik Arab telah melakukan juga pekerjaan haji menurut cara mereka sendiri. Antara lain ialah thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang bulat sambil bertepuk tangan.” (Hadits Shahih Bukhari no. 843). Sebelum Islam datang tawaf dilakukan oleh orang-orang kafir secara telanjang, namun setelah kedatangan Islam hal tersebut di rekonstruksi menjadi lebih islami.
- Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan
BAB III
Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian tentang “Islam dan Budaya” yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam adalah mutlak ciptaan Allah SWT yang hakiki oleh karena itu Islam dijamin akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta atau tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan jaman.
Kaitannya dengan kebudayaan, islam memiliki Dasar-Dasar dalam Pengembangan Budaya, yaitu:
· Penghargaan terhadap akal fikiran
· Anjuran menuntut ilmu
· Larangan untuk taklid
· Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
· Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Antara kebudayaan dan agama Islam saling terkait antara yang satu dengan yang lain. Agama sebagai petunjuk kehendak ilahi sedangkan kebudayaan adalah wujud dari pengamalan ajaran agama yang di tafsirkan oleh manusia melalui penalaran. Ada 3 jenis kebudayaan menurut islam, Yaitu:
· Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.
· Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di rekonstruksi sehingga menjadi Islami.
· Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Oleh karena itu, kita menekankan kepada pembaca bahwa antara Islam dan kebudayaan memiliki hubungan namun tidak semua dapat diadobsi. Demikian makalah ini disususun, semoga dapat menjadi satu dari sarana dalam menerangkan antara Islam dan Kebudayaan.
Daftar Pustaka
Al-majid, Pemahaman Islam antara rakyu dan wahyu,PT Remaja Rosdakarya,Bandung,1997
Muhaimin, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Cet.I, Surabaya: Karya Abditama,1994
Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam,Jakarta,PT Raja Grafindo Persadaa,2004
Tri Prasetya Joko, Ilmu Budaya Dasar,Cet 3,Jakarta: PT.Rineka Cipta,2009
Wismulyani Endar, Jejak Islam di Nusantara, Cet 1,Klaten: Cempaka Putih,2008
[1] Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persadaa,2004) hal.62
[2] Ibid hal. 62
[3] Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar,Cet 3,(Jakarta: PT.Rineka Cipta,2009), hal.28
[4] Muhaimin, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Cet.I, (Surabaya: Karya Abditama,1994), hal.307
[5] Ibid. hal.309
[6] http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/50?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses 14 Oktober jam 14.30 wita
[7] http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/08/relasi-antara-islam-dan-kebudayaan/ diakses 14 Oktober jam 14.30 wita
[8] Ibid
[9] Al-majid,PemahamanIslam antara rakyu dan wahyu (PT Remaja Rosdakarya,Bandung,1997) hal.73
[10] Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam,(Jakarta,PT Raja Grafindo Persadaa,2004) hal.49
[11] Endar Wismulyani, Jejak Islam di Nusantara, Cet 1,(Klaten: Cempaka Putih,2008), hal.46-47
|
AMANS
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
0 komentar:
Posting Komentar