PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setidaknya itulah yang diindikasikan oleh surat al Baqarah ayat 185. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang terjemah Al-Quran, tafsir dan takwil dalam Al-Quran. Agar pemahaman kita tentang Al-Qur’an dapat bertambah.
PEMBAHASAN
A. Terjemah Al-Qur’an
1. Pengertian Terjemah Al-Qur’an
Menurut pengertian bahasa ialah menerangkan dengan bahasa yang lain. Sedangkan menurut istilah terjemah itu ada dua pengertian, yaitu terjemah harpiah dan terjemah tafsiriah atau ma’nawiyah. Terjemah harpiah adalah memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa yang lain dimana susunan kata yang diterjemahkan sesuai dengan susunan kata yang menerjemakan, begitu pula tertib bahasa yang diterjemahkan sesuai dengan tertib bahasa yang menerjemahkan. Sedangkan terjemah tafsiriyah atau ma’nawiyah ialah menjelaskan maksud kalimat (pembicaraan) dengan bahasa yang lain tanpa keterkaitan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa memeperhatikan susunannya.[1]
2. Syarat-Syarat Terjemah Al-Quran
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
a. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
b. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
c. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
d. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.[2]
3. Sejarah Terjemah Al-Qur’an
Dalam sejarah, penerjemahan al-Qur'an pertama kali dilakukan oleh ketua gereja Cluny, Petrus Agung Peter The Venerable asal Prancis pada tahun 1143 M. Dengan bantuan pendeta Robert Ketton asal Inggris dan Herman Dalmash dari Jerman, demi mendapatkan pengetahuan tentang al-Qur'an kitab umat Islam -yang pada zamannya menjadi agama yang berkembang pesat di Andalusia, Spayol- penerjemahan al-Qur'an kemudian ia lakukan.
Terjemahan tersebut sekitar empat abad lamanya hanya dimilki oleh gereja untuk dipelajari dan tidak diizinkan dicetak diluar gereja dengan alasan sepaya umat Kristen tidak mempunyai kesempatan mempelajari al-Qur'an terjemahan tersebut, hingga tidak aka ada penganut Kristen yang murtad dari agamanya.Pertengahan Abad 16 tahun 1543, di bawah pengawasan seorang Swiss bernama Teidoor, terjemahan ini kemudian dicetak. Tahun 1550 untuk kedua kalinya dicetak dalam tiga jilid. Meskipun mengandung kesalahan penerjemahan dan kekeliruan tidak sedikit, tapi kehausan bangsa Eropa untuk mempelajari kitab suci kaum Muslim disamping ketakutan serta kekhawatiran melakukan penerjemahan terhadap kitab mereka bila kemudian menyebar di tengah-tengah masyarakat non-Muslim, karya Petrus ini bukan hanya diterima di tengah bangsa Eropa, lebih dari itu, menjadi referensi terjemahan al-Qur'an untuk bahasa-bahasa Latin lain seperti Italia, Jerman dan Belanda."
Qur'an Karim, adalah satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami perubahan.
Qur'an Karim, adalah satu-satunya kitab langit yang tidak mengalami perubahan.
Bagi umat Islam merupakan dasar hukum dan nilai sekaligus sumber keilmuan dalam agama ini. Al-Qur'an yang telah meletakkan batu bangunan peradaban kurang lebih seper empat penduduk bumi yang mayoritas di daerah timur. Bagi barat, tentu saja pintu masuk untuk memahami pemikiran umat Islam adalah mengetahui kitab suci agama Islam ini.
Atas dasar inilah, secara dini barat kemudian dengan keteguhan keras melakukan usaha penerjemahan melalui gelombang yang dikenal dengan Istisyraq (Westernisasi) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin.[3]
B. Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa ialah menerangkan dan menyatakan. Menurut istilah ialah tafsir ialah mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.[4]
Prof. TM. Hasby Ash-shiddieqy mendefinisikan ilmu tafsir sebagai berikut, ilmu tafsir ialah ilmu yang menerangkan tentang hal nuzulul ayat, keadaan-keadaannya, kisah-kisahnya, sebeb-sebab turunnya, tertib makkiyahnya, madaniyahnya, muhkam, mutasyabihnya, nasikhnya, ‘amnya, mutlaqnya, mujmalnya, mufassarnya (mufashshalnya), halalnya, haramnya, wa’adnya, wa’idnya, amernya, nahyunya, I’barnya dan amsalnya.[5]
Sedangkan Abu Hayan mendefinisikan ilmu tafsir sebagai berikut : ilmu tafsir ialah suatu ilmu yang dibahasakan di dalamnya cara menuturkan (membunyikan) lafadz-lafadz Al-Qur’an, madlul-madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata-kata tarkib dan makna-maknanya yang dipertanggungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, kisah yang menyatakan apa yag tidak terang (mubham) didalam Al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan rapat dengan itu. [6]
2. Macam-Macam Tafsir
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y.[7]
a. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat.
Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat.
Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.
Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.
b. Tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini.
3. Sejarah Tafsir di Indonesia
Sejarah perkembangan intelektualisme Indonesia abad 17–18, sebagaimana diasumsikan Azyumardi, banyak yang terlupakan oleh para peneliti. Sebagian besar perhatian para Indosianis dan ahli Asia Tenggara ditujukan pada persoalan sejarah politik muslim. Padahal, abad 17–18 M. merupakan abad yang paling dinamis dalam sejarah intelektualisme muslim Indonesia. Sebagai misal, pada saat itu muncul ulama besar di Aceh, Abdul Rouf al-Singkili, yang populer dengan karya besarnya dalam bidang tafsir, Turjuman al-Mustafid. Dalam bidang fiqh muncul, Nuruddin ar-Raniri dengan karya monumentalnya, Sirathal Mustaqim, yang ditulis pada tahun 1634 M. dan selesai pada 1644 M. Kemudian, Abdul Shamad al-Palimbani dengan magnum opus-nya, Hidayat al-Salikin, sebuah kitab tasawuf yang berisi aturan-aturan syar’i dengan penafsiran-penafsiran esoteris.
Tradisi intelektual muslim Indonesia tersebut terus terawat hingga abad ke-21 dewasa ini. Beberapa penulis muslim Nusantara telah mempersembahkan karya-karya besar mereka pada paroh terakhir abad ke-20, seperti Buya Hamka, Ahmad Hasan, Hasbi As-Shiddiqi, Mahmud Yunus dan Quraish Shihab. Dalam catatan Federspiel, banyak karya intelektual Indonesia abad ini yang menempati deretan utama dalam perkembangan pemikiran Islam di Asia Tenggara. Diantara cabang-cabang keislaman yang menjadi perhatian para intelektual muslim Indonesia sejak abad 17–20 tersebut meliputi Teologi, Fiqh, Hadits, Tasawuf dan Tafsir al-Qur’an.
Terutama pada bidang Tafsir al-Qur’an, ada keunikan tersendiri dalam karya-karya ulama Nusantara. Tampak adanya perpanjangan mata rantai sejarah pemikiran Timur Tengah dalam perkembangan wacana tafsir di Indoensia. Namun, pada banyak aspek corak tafsir Indonesia menunjukkan kuatnya persentuhan dengan local genius, sehingga memberikan nuansa tafsir tersendiri. Muatan budaya lokal dalam tafsir Indonesia, salah satunya ditunjukkan dengan kuatnya warna mistis.
Hal ini bukan semata-mata dikarenakan Timur Tengah pada saat itu sedang didominasi oleh aura tarekat, tetapi unsur tradisi atau budaya Jawa merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa di Nusantara meskipun al-Qur’an ditempatkan pada posisi sakral yang menyediakan ruang pemahaman dogmatis-ideologis, namun ada “sentuhan” esoterik yang kuat dengan penalaran budaya Jawa. Menurut Nashr Hamid, secara aksiomatis fenomena pemikiran di mana pun memang tidak tumbuh terlepas dari warna sosial dan budaya atau kondisi obyektifnya. Sebab, pemikiran tidak lain merupakan jawaban atau solusi–atas suatu persoalan sosial maupun budaya–yang bersifat mengubah atau mempertahankan. Itu sebabnya, tulisan ini bermaksud menyajikan perkembangan intelektualisme Indonesia dalam bidang tafsir.[8]
C. Takwil
1. Pengertian Takwil
Kata takwil merupakan masdar dari awwala, yaitu awwala, yu’awwila, ta’wil. Secara bahasa, ia berarti rujuk (kembali) kepada asal. Sedangkan takwil menurut istilah berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-kitab dan Sunnah.[9]
2. Perbedaan Tafsir dan Takwil
Para mufassirin berselisih pendapat dalam member makna tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berkata : “Tafsir dan takwil satu makna”. Pengertian demikian dibantah sebagian ulama. Diantaranya Abu Bakar Ibn Habib an-Naisaburry. Al – Ashfahany berkata : “Tafsir lebih umum dari takwil. Tafsir lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedangka takwil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.[10]
Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.[11]
Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Tafsir
1. Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
2. Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
3. Banyak berhubungan dengan riwayat
4. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
5. Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
b. Takwil
1. Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
2. Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
3. Banyak berhubungan dengan dirayat
4. Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
5. Menerangkan hakikat yang dikehendaki
3. Contoh Takwil Al-Qur’an
Takwil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa Arab.
Umpamanya firman Allah Q.S Al-An’am : 95
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka Mengapa kamu masih berpaling?”[12]
Dari ayat diatas maka dapat di takwilkan bahwa jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah takwil.
PENUTUP
Kesimpulan
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt.
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
[1] Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, ( Bandung : Angkasa, 1994), hal.93
[3]http://www.imanjama.org/index.php?option=com_content&view=article&id=sejarah-terjemah-al-quran&catid.2011/11/08
[4] Hasby Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 153
[5] Hasby Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal.179
[8] http://mlutfimustofa.com/perkembangan-wacana-tafsir-al-quran-di-indonesia/2011/11/08
[9] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, ( Jakarta : Amzah, 2009 ), hal. 128
[10] Hasby Ash-shiddieqy, Op-Cit, hal. 155
[11] http://haidarchace.wordpress.com/2011/11/07tafsir-al-quran/
|
AMANS
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
1komentar:
trimakasih atas infonya sangat bermanfaat ....???
Posting Komentar