BAB I 
PENDAHULUAN
Hadits  yang dipahami sebagai pernyataan,  perbuatan, persetujuan dan hal yang  berhubungan dengan Nabi Muhammad  saw. Dalam tradisi Islam, hadits  diyakini sebagai sumber ajaran agama  kedua setelah al-Quran. Disamping  itu hadits juga memiliki fungsi  sebagai penjelas terhadap ayat-ayt  al-Qur’an sebagaimana dijelaskan  dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits  tersebut merupakan teks kedua,  sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai  pembimbing bagi masyarakat yang  beriman. Akan tetapi, pengambilan  hadits sebagai dasar bukanlah hal yang  mudah. Mengingat banyaknya  persoalan yang terdapat dalam hadits itu  sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Adanya  rentang waktu yang panjang antara  Nabi dengan masa pembukuan hadits  adalah salah satu problem. Perjalanan  yang panjang dapat memberikan  peluang adanya penambahan atau  pengurangan terhadap materi hadits.  Selain itu, rantai perawi yang  banyak juga turut memberikan kontribusi  permasalahan dalam meneliti  hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai  sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para  muhaddisin, dalam menentukan dapat  diterimanya suatu hadits tidak  mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya  syarat-syarat diterimanya rawi  yang bersangkutan. Hal ini disebabkan  karena mata rantai rawi yang  teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah  panjang. Oleh karena itu,  haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang  memastikan kebenaran  perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad  tersebut.
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek
Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek
BAB II 
PEMBAGIAN HADITS
Hadits dapat dibagi kepada beberapa bagian diantaranya :
A. Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
• Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga:
• Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga:
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak  dapat dikategorikan dalam hadits  mutawatir, yaitu segala berita yang  diriwayatkan dengan tidak bersandar  pada pancaindera, seperti  meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik  yang terpuji maupun yang  tercela, juga segala berita yang diriwayatkan  oleh orang banyak,  tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan  berita-berita  secara dusta.
Hadits yang  dapat dijadikan pegangan  dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini  kebenarannya. Karena kita  tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi  Muhammad SAW, maka jalan  penyampaian hadits itu atau orang-orang yang  menyampaikan hadits itu  harus dapat memberikan keyakinan tentang  kebenaran hadits tersebut.  Dalam sejarah para perawi diketahui  bagaimana cara perawi menerima dan  menyampaikan hadits. Ada yang  melihat atau mendengar, ada pula yang  dengan tidak melalui perantaraan  pancaindera, misalnya dengan lafaz  diberitakan dan sebagainya.  Disamping itu, dapat diketahui pula banyak  atau sedikitnya orang yang  meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar)  yang  diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan  (daya  tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu   benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari   peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak   merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat)   sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir   walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2.  Bilangan para perawi mencapai suatu  jumlah yang menurut adat mustahil  mereka untuk berdusta. Dalam hal ini  para ulama berbeda pendapat  tentang batasan jumlah untuk tidak  memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c.  Sebagian ulama menetapkan  sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut  berdasarkan ketentuan yang  telah difirmankan Allah tentang orang-orang  mukmin yang tahan uji, yang  dapat mengalahkan orang-orang kafir  sejumlah 200 orang (lihat surat  Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3.  Seimbang jumlah para perawi, sejak  dalam thabaqat (lapisan/tingkatan)  pertama maupun thabaqat berikutnya.  Hadits mutawatir yang memenuhi  syarat-syarat seperti ini tidak banyak  jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban  dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits  mutawatir tidak mungkin terdapat  karena persyaratan yang demikian  ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah  berpendapat bahwa mutawatir itu memang  ada, tetapi jumlahnya hanya  sedikit.
Ibnu Hajar  Al-Asqalani berpendapat bahwa  pendapat tersebut di atas tidak benar.  Ibnu Hajar mengemukakan bahwa  mereka kurang menelaah jalan-jalan  hadits, kelakuan dan sifat-sifat  perawi yang dapat memustahilkan hadits  mutawatir itu banyak jumlahnya  sebagaimana dikemukakan dalam  kitab-kitab yang masyhur bahkan ada  beberapa kitab yang khusus  menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti  Al-Azharu al-Mutanatsirah  fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam  As-Suyuti(911 H), Nadmu  al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan  Muhammad Abdullah bin  Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan  demikian, dapatlah dikatakan  bahwa penelitian terhadap rawi-rawi  hadits mutawatir tentang keadilan  dan kedlabitannya tidak diperlukan  lagi, karena kuantitas/jumlah  rawi-rawinya mencapai ketentuan yang  dapat menjamin untuk tidak  bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah  bagi setiap muslim menerima  dan mengamalkan semua hadits mutawatir.  Umat Islam telah sepakat tentang  faedah hadits mutawatir seperti  tersebut di atas dan bahkan orang yang  mengingkari hasil ilmu daruri  dari hadits mutawatir sama halnya dengan  mengingkari hasil ilmu daruri  yang berdasarkan musyahailat (penglibatan  pancaindera).
2. Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih.
3. Hadits Ahad
a. Pengertian hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
a. Pengertian hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadits ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Bahwa  neraca yang harus kita pergunakan  dalam berhujjah dengan suatu hadits,  ialah memeriksa “Apakah hadits  tersebut maqbul atau mardud”. Kalau  maqbul, boleh kita berhujjah  dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat  iktiqatkan dan tidak dapat  pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita  tidak mengetahui sejarahnya,  kita usahakan menarjihkan salah satunya.  Kita ambil yang rajih, kita  tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat  ditarjihkan salah satunya,  bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. PembagianHaditst Berdasakan Kualitas :
• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
Syarat hadits Sahih adalah
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b. Kedhabitan perawinya sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak ada cacat atau illat.
e. Matannya tidak syaz atau janggal.
Syarat hadits Sahih adalah
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
b. Kedhabitan perawinya sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak ada cacat atau illat.
e. Matannya tidak syaz atau janggal.
Hadits  sahih menurut bahasa berarti  hadits yng bersih dari cacat, hadits yng  benar berasal dari Rasulullah  SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan  oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
2. Hadits Hasan
Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
3. Hadits Daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi  hadits daif itu bukan saja tidak  memenuhi syarat-syarat hadits sahih,  melainkan juga tidak memenuhi  syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits  daif itu terdapat hal-hal yang  menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk  menetapkan hadits tersebut bukan  berasal dari Rasulullah SAW.
C. Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;
1. Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan.
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan.
b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;
1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
2. Mauquf:Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
D. Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
Pembagian  hadits berdasarkan sanad,  yang ditinjau dari segi persambungan sanad,  dan dari segi sifat-sifat  yang ada pada sanad dan secara  periwayatannya, dapat dikemukan di bawah  ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi) dalam sanad, dan terbagi lagi kepada ;
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda
PENUTUP
Sebagai  akhir pembahasan tulisan ini,  penulis sajikan kesimpulan umum sebagai  berikut; Pertama, dalam  perkembangan masa hadits dikelompakkan sesuai  kriteria masing-masing.  Secara garis besar hadits dapat dibagi dengan  melihat sanad dan matan.  Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan  diterima dan ditolaknya, jumlah  rawi, bentuk dan penisbahan matan dan  berdasarkan persambungan dan  keadaan sanad.
Kedua,  munculnya fenomena penambahan,  perbedaan redaksi, penukaran urutan  kalimat terdapat uncur positive dan  lebih banyak negatifnya. Positif  bila dilihat dari penambah penjelas  dari kalimat yang masih perlu  ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan  sang pengkaji, disebabkan  berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang  perawi memang tidak dabit,  dan kemungkinan rawi menafsirkan secara  obyektif, sehingga tidak sesuai  makna dan maksud sebenarnya.
Dengan  munculnya fenomena diatas  memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran  kadang-kadang berakibat  menjadikan sesuatu yang bukan hadits sebagai  hadits, maka para ulama  sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan  serius serta menanganinya  dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para  pecinta hadits agar tergugah  untuk lebih berhati-hati dalam menelaah  dan mengamalkan isi hadits  sehingga dapat membedakan mana yang termasuk  bagian hadits dan yang  bukan.
Dari makalah diatas dapat kami rangkum beberapa hal antara lain :
Dari makalah diatas dapat kami rangkum beberapa hal antara lain :
Berdasarkan sedikit banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits dibagi menjadi tiga yaitu :
o Mutawatir
o Aziz
o Ahad
o Mutawatir
o Aziz
o Ahad
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu :
o Shahih
o Hasan
o Dho’if
o Shahih
o Hasan
o Dho’if
Syarat hadits Sahih adalah :
o Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
o Kedhabitan perawinya sempurna.
o Sanadnya bersambung
o Tidak ada cacat atau illat.
o Matannya tidak syaz atau janggal.
o Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
o Kedhabitan perawinya sempurna.
o Sanadnya bersambung
o Tidak ada cacat atau illat.
o Matannya tidak syaz atau janggal.
Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam :
o Qauli
o Fi’li
o Taqriri
o Qauni
o Hammi
o Qauli
o Fi’li
o Taqriri
o Qauni
o Hammi
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
————, Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
————, Manhaj fi Ulum al-Hadits, Damaskus: Dar al-Fikr 1998
Tengku Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1999
| 
 | 
AMANS
| MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI | 
 | 
0 komentar:
Posting Komentar