BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam  memiliki ajaran yang lengkap, meyeluruh dan sempurna yang mengatur tata  cara kehidupan manusia, baik ketika beribadah maupun ketika  berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian Islam merupakan agama  yang memiliki  banyak dimensi, yaitu mulai dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi,  politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sejarah  perdamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga.
             Untuk memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan  berbagai pendekatan yamg digali dari berbagai disiplin ilmu. 
Di dalam Alquran, misanya, dijumpai ayat-ayat menegenai proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi manusia untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan ilmu anatomi manusia. Begitu pula utuk membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian. Dengan demikian untuk memahami Islam secara holistik diperlukan adanya saintifikasi Islam, yakni proses mengolaborasikan nila-nilai normatif Islam ke dalam formulasi ilmu dan tidak hanya sekedar memahami Islam secara teologis normatif.
Di dalam Alquran, misanya, dijumpai ayat-ayat menegenai proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi manusia untuk menjelaskan masalah ini jelas memerlukan ilmu anatomi manusia. Begitu pula utuk membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tanaman dan tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian. Dengan demikian untuk memahami Islam secara holistik diperlukan adanya saintifikasi Islam, yakni proses mengolaborasikan nila-nilai normatif Islam ke dalam formulasi ilmu dan tidak hanya sekedar memahami Islam secara teologis normatif.
             Islam sejatinya menuntut pengembangan ilmu dan teknologi yang harus  menyentuh kepentingan mengangkat harkat dan martabat kehambaan kepada  Allah dan membenarkan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi.  Mutlak adanya, bahwa peralihan ilmu dan teknologi dalam persepsi Islam,  harus selalu bergandengan dengan aspek ketauhidan. Hal ini didukung oleh  sebuah hadis Rsulullah SAW. yang berujar, “Barangsiapa ditanya tentang  ilmu dan ia menyembunyikannya, maka ia akan dirantai oleh api neraka”.  Kemudian dikukuhkan pula oleh sebuah diktum Nabi yang memandang betapa  pentingnya ilmu dan teknologi. Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka  wajib dengan ilmu. Atau yang menghendaki akhirat juga wajib dengan ilmu.  Bagi yang menghendaki keduanya, harus pula dengan ilmu. Oleh karena itu  wajar jika derajat pencapaian iptek, menurut Islam, berada pada posisi  yang terhormat dan dimuliakan oleh Allah. Untuk itulah disini kami akan  membahas lebih jauh mengenai pengetahuan itu sendiri dalam pandangan Islam.[1]
B. Rumusan Masalah
1. Teori Pengetahuan Menurut Islam
2. Konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam
a. Kedudukan Ilmu Pengetahuan
b. Sumber Ilmu Pengetahuan
c. Metode Keilmuan
d. Etika Islam dalam pengembangan Iptek
3. Agama dan Ilmu Pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori Pengetahuan Menurut Islam
“Timur ya timur dan Barat ya barat” (Rudyard Kipling)
Wawasan tentang Ketuhanan
Dengan  kata-kata diatas, kipling hendak menunjukan bahwa unsur-unsur yang  membentuk peradaban Timur dan barat sangatlah berbeda dan saling  bertentangan antar satu dan yang lainnya, sehingga  kecil sekali kemungkinan yang membuat keduanya bergabung dan membentuk  suatu kesatuan. Sebuah contoh untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan  antar keduanya itu diberikan oleh teori pengetahuan menurut islam, yang  berbeda secara mendasar dengan teori  pengetahuan di barat. Yang pertama adalah konsepsi spiritual tentang  manusia dan alam tempat ia hidup, sedangkan yang kedua adalah sifatnya  sekular dan skeptis terhadap wawasan tentang ketuhanan. 
Wawasan  tentang Ketuhanan yang telah menghilang dari konsepsi pengetahuan barat  tentang pengetahuan merupakan titik sentral dalam teori islami tentang  pengetahuan. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir islami dari cara  barat, adalah keyakinan tak tergoyahkan dari cara bepikir bahwa Allah  berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk  pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain adalah  Allah. 
Semua  filsuf muslim yang berpendidikan seperti Alfarabi, Ibnu Syna,  al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dll, semuanya sependapat bahwa sumber segala  pengetahuan adalah Yang Ilahi.[2]
B.     Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam
            Pada  era globalisasi saat ini, Ilmu pengetahuan umum memang sangat penting  manfaatnya bagi kehidupan didunia, ilmu agama yang tidak dilengkapi oleh  ilmu pengetahuan umum diibaratkan seperti orang yang pincang, tempat  yang dituju jelas namun kaki menjadi kendala untuk mencapai tujuan  tersebut. Demikian juga ketika ilmu pengetahuan tersebut jika tidak  dilengkapi dengan ilmu agama maka bagaikan orang yang buta, karena tidak  tahu arah tujuan hidup yang sesungguhnya.
            Dengan  demikian, harus disadari bersama bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan  itu harus berimbang keadaanya. Tapi, pada kenyataanya umat Islam banyak  yang lemah dalam ilmu pengetahuan umum. Menurut para peneliti ahli ilmu  Al-Qur'an, tidak kurang dari 60% dari ayat-ayat Al-Qur'an membicarakan  tentang alam semesta (ilmu pengetahuan) dan hanya 40% dari ayat  Al-Qur'an membicarakan tentang hukum, ibadah, tarikh, dan muamalah. Hal  ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya bisa jauh lebih unggul dalam ilmu  pengetahuan umum dari orang-orang Nasrani, karena sejak diturunkannya  Al-Qur'an, Allah sudah mengajari umat Islam tentang ilmu pengetahuan.[3]
            Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Alquran adalah  konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya  berada di bawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan mendasar  dari Alquran pentingya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa  Alquran menyebut akar kata “ilmu” dan kata turunannya tidak kurang dari  744 kali.[4]
Konsep ilmu membedakan pandangan dunia islam dari cara pandang dan ideologi  lainnya. Tak ada pandangan dunia lain yang membuat pencarian ilmu  sebagai kewajiban individual dan sosial serta membedakan arti moral dan  religius. Karenanya ilmu sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban  muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam lapisan masyarakat  dan mengungkap dirinya dalam upaya intelektual.
            Sejak  awal, Islam mengisyaratkan bahwa menuntut Ilmu kewajiban agama artinya  menuntut ilmu pengetahuan memang benar-benar diwajibkan bagi umat islam.  Menjadi seorang muslim berarti terlibat aktif dalam pelahiran,  pemrosesan dan penyebaran ilmu. 
             Islam juga menghendaki umatnya untuk memiliki ilmu pengetahuan, baik  ilmu pegetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Dalam pandangan  Islam, ilmu itu tergolong suci. Ilmu merupakan barang yang sangat  berharga bagi kehidupan seseorang, Ilmu itu bagaikan lampu atau cahaya.  Bahwa tidak dapat seseorang berjalan di malam yang gelap, kecuali dengan  lampu. Demikian pula halnya, tidak dapat seseorang membedakan yang baik  dengan yang buruk, kecuali dengan ilmu.[5]
Konsep  ilmu bukanlah suatu gagasan yang terbatas dan elitis. Ilmu merupakan  pengetahuan distributive. Ilmu bukan monopoli Individu, kelompok, atau  jenis kelamin. Ilmu juga tak terbatas hanya pada suatu disiplin  tertentu tetapi mencakup dimensi pengetahuan dan seluruh spectrum  fenomena-fenomena alamiah. Sungguh islam menempatkan ilmu dengan adil.[6]
Berdasarkan  uraian diatas, maka penjelasan ilmu pengetahauan dalam pandangan islam  meliputi: kedudukan ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode  keilmuan dan etika islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
1. Kedudukan ilmu pengetahuan
             Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan  keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan dan kehormatan yang  diberikan kepada para ilmuan serta tersirat dalam wahyu pertama yang  diterima Rasulullah SAW. berupa kunci ilmu, yakni” membaca. Tercermin  dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal. Tersurat  dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan menyesatkan serta tegas  dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia  masih hidup (long life education consep). Hal ini menunjukan bahwa  konsep pembelajaran sebagai suatu proses pembentukan dan perbaikan diri  secara dinamis dan kontinyu merupakan acuan yang dikehendaki dalam  Islam. Dengan sistem pendidikan seumur hidup, maka akan lahir good  citizen (warga negara yang baik) yang memiliki kepribadian utuh.
            Perlu kita ketahui, bahwa dalil-dalil keutamaan ilmu dalam Al-Qur’an banyak sekali. Di antaranya adalah firman-Nya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (QS Al-Mujadalah [58]: 11)
Ibnu  ‘Abbas r.a. mengatakan, “Para ulama memiliki derajat di atas  orang-orang mukmin sebanyak tujuh ratus derajat, jarak di antara dua  derajat tersebut perjalanan lima ratus tahun.”[7]
             Realita berbicara, Alquran sebagai kitab panduan umat manusia memuat  ratusan ayat yang mengungkapkan tentang ilmu, mengajak manusia untuk  berfikir dan melakukan penalaran (mengamati, memeperhatikan, memikirkan  dan menyelidiki dengan seksama), serta memberikan penghormatan  orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya. Ini merupakan bukti  otentik yang tak dapat diragukan lagi akan pentingya kedudukan ilmu  dalam Islam.
              Selain itu Alquran tidak bertentangan dan tidak akan berseberangan  dengan hakikat ilmu pengetahuan. Akal manusia akan selalu didorong oleh  Alquran untuk mendalami ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kedudukan  ilmu pengetahuan dan agama dalam perspektif Islam bersifat intergral,  bukan dikotomis.
             Dari kolaborasi antara ilmu pengtahuan dan agama, diharapkan selain  manusia mampu membedakan fakta ilmiah dengan teori ilmiah, juga yang  terpenting mampu menemukan bagaimana konsep nilai, teori atau paradigma  itu dalam perspektif Alquran.
            Secara singkat, dibawah ini akan diuraikan kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
a. Manusia diangkat sebagai khalifatulllah (penguasa),  dan dibedakan dari makhluk lain karena ilmunya. Alquran menceritakan  bagaimana Nabi Adam diberi pengetahuan tentang konsep totalitas dan  malaikat disuruh sujud kepadanya. Beberapa kali Allah mengaitkan   penciptaan manusia dengan kemampuannya untuk memiliki dan mengembangkan  ilmu pengetahuan. Oleh karena itu tugas manusia di dunia harus dapat  menggali potensi diri (menguasai ilmu dan teknologi), dengan tujuan agar  dapat memahami, mengungkapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b.  Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan  ilmu pengetahuan. Ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia.
c.  Alquran diturunkan dengan ilmu Allah, dan hanya dapat direnungkan atau  dimengerti maknanya oleh orang-orang yang berilmu. Untuk memperoleh  petunjuk dari Alquran, bukan saja diperlukan ketakwaan dan keimanan,  tetapi juga ilmu pengetahuan.
d. Alquran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki ilmu pengetahuan.
e.  Allah melarang manusia untuk mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki  ilmu mengenainya. Di sini Islam menuntut agar manusia tidak bersikap dan  bertindak kecuali berdasarkan ilmu.[8]
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
Berkaitan  dengan masalah sumber ilmu pengetahuan, Louis O. Kattsof mengatakan  bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia ada lima, yaitu: empiris, rasio,  fenomena, intuisi dan  metode ilmiah.[9] 
Sedangkan jika dikembalikan kepada Al-quran Ada empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain:
a. Alquran dan Assunnah. Keduanya merupakan sumber pertama ilmu pengetahuan.
b.  Alam semesta. Alquran menyuruh manusia  memikirkan keajaiban-keajaiban  ciptaan Allah, penciptaan bumi dan lautan, hujan dan halilintar, langit  dan bintang-bintang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan logam, serta yang  lainnya.
c. Manusia adalah sumber ketiga ilmu. “Hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan”. 
d.  Sejarah umat manusia. Banyak dari sisi kehidupan merupakan kelanjutan  dari produk sejarah. Meskipun Alquran bukan buku sejarah, akan tetapi di  dalamnya termuat hukum sejarah, hukum Allah tentang sejarah  kemanusiaan. Di dalamnya juga termaktub pola sejarah kemanusiaan dari  zaman Nabi Adam hingga sejarah manusia akhir zaman.
3. Metode keilmuan
            Banyak  ayat-ayat al-quran yang memerintahkan agar manusia mengembangkan metode  ilmiah (keilmuan). Dengan perintah-Nya, manusia dierintahkan untuk  menggunakan pikiran, melatih metode berpikir atau dalam bahasa  keilmuannya mengembangkan metode ilmiahnya. Metode ilmiah terdiri dari  dua pendekatan yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan induktif.[10] Perintah Allah untuk memperhatikan kenyataan alam dan proses kejadian itu adalah perintah mengembangkan metode induktif. 
Ilmu  pengetahuan dimulai dari pengetahuan atau pengalaman setelah melalui  berbagai proses, seperti perhatian, penalaran dan penelitian. Seterusnya  dirumuskan menjadi satu teori yang bersifat sistematis, rasional,  empiris dan kualitatif; barulah pengetahuan itu dapat dikategorikan  sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tak lagi sederhana. Tiap  aktivitas manusia menghasilkan ilmu pengetahuan, karena membutuhkan  penalaran akal yang terus menerus sampai terbukti kebenaran teori.
Kebanyakan  manusia memperoleh ilmu pengetahuan dari pengalaman yang diperoleh  melalui indera yang dimiliknya. Dengan inderanya, manusia mengenal  hal-hal yang ada disekitarnya. Manusia tahu bahwa api itu panas dan es  itu dingin, tahu bahwa terjadi pergantian siang dan malam. Selain itu,  manusia juga tahu akan hukum atau aturan yang tetap. Pengetahuan itu,  meskipun tidak disadari dan seringkali tidak dirumuskan dengan kata-kata  yang jitu dan tepat, tetapi diakui kebenarannya, serta dipergunakan  dalam hubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan  berjalan menurut metode tertentu, karena pengetahuan tertentu memiliki  metode. Metode yang dimaksud adalah metode keilmuan, atau yang biasa  disebut metode ilmiah. Ia merupakan prosedur dalam mendapatkan  pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang  didapatkan melalui metode ilmiah.
            Untuk memperoleh pengetahuan, manusia bisa menempuh melalui dua cara, yaitu:
a. Jalur ilahiah (Revealed Knowledge)
Manusia  memperoleh ilmunya dari informasi-informasi Ilahiyah (ilmu pengetahuan  yang diwahyukan) melalui kitab suci Alquran secara langsung, siap pakai  dan tanpa  harus menggunakan prosedur metode ilmiah. Lewat jalur Ilahiyah manusia  dapat memeperoleh berbagai pengetahuan, baik yang bersifat pengetahuan  empiris  maupun non empiris (gaib).  Masalah non empiris misalnya tentang Tuhan, Malaikat dan Setan, Surga  dan Neraka. Contoh tersebut semuanya berada diluar jangkauan pengalaman  manusia dan Diluar penjelajahan ilmu. Sedangkan masalah empiris misalnya  mengenai proses kejadian manusia.
Contuh lain: “Akan Kami tunjukan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami disegenap penjuru ufuk dan juga di dalam diri mereka sendiri”[11]  
“sesungguhnya  didalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam  terdapat kekuasaan kami bagi orang-orang yang berakal”.[12] 
“Apakah  mereka tidak meneliti bagaimana unta diciptakan, dan langit bagaimana  ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaiman ia ditegakan dan bumi  bagaimana ia dihamparkan?”.[13]
b. Jalur Insaniyah (Acquired Knowledge) 
Melalui  jalur ini manusia mendapat ilmunya setelah melalui proses pencarian  ilmu dengan berolah fikir, berolah jiwa berolah indera, maupun dengan  cara berolah raga.  Dengan olah fikir dan olah jiwa manusia memperoleh filsafat, dengan  ruang lingkup yang menyeluruh, mendasar meskipun masih bersifat  spekulatif. Disamping filsafat, manusia juga memperoleh logika, dengan  berolahraga manusia memperoleh ilmu beladiri, ilmu kesehatan dan  sebagainya.
Islam tidak mengenal sampai dimana batas ilmu pengetahuan yang bisa dicapai  manusia. Karena itu, perintah untuk mencari ilmu tidak terbatasi oleh  waktu, tempat maupun jenis. Menuntut ilmu merupakan kewajiban manusia sepanjang hidupnya dari sejak lahir sampai akhir hayat.
4. Etika Islam dalam Pengembangan Iptek
Pada  abad ke-21, ilmu pengetahuan dan teknologi masih akan menjadi faktor  dominan dalam kehidupan manusia. Laksana kekuatan raksasa, ilmu  pengetahuan bisa secara potensial sangat destruktif tergantung bagaimana  manusia mengolah dan mengarahkannya. Teknologi juga akan berbahaya jika  berada di tangan orang yang secara mental dan keyakinan agama belum  siap. Mereka dapat menyalahgunakan teknologi  untuk tujuan yang mengkhawatirkan. Contohnya kasus yang baru terjadi  ialah pembuatan blog pembunuh bayaran professional, tanpa merasa  bersalah atau berdosa. Maka dari itu manusia perlu meninjau ulang fungsi  ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan, apakah orientasinya  masih bersifat positive-konstruktif atau cenderung malah  negative-destruktif.
Adapun etika islam dalam pengembangan Iptek dapat dikemukakan sebagai berikut:[14] 
Pertama, islam  sebagai ajaran yang komprehensif dan universal dalam ajarannya tidak  mengenal kompartementalisasi bidang-bidang kehidupan manusia, sehingga  bidang pengembangan ilmu dan teknologi juga merupakan bagian integral  muslim secara utuh. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah aplikasi ilmu dan teknologi harus sesuai dengan ajaran islam. 
Kedua, dalam  system islam seluruh kehidupan manusia muslim pada hakikatnya harus  diniatkan sebagai pengabdian (ibadah) kepada Allah. Dengan demikian  tidak mungkin seorang muslim melacurkan ilmu kepada sesamanya baik yang  berwujud tiran, dictator, maupun kekuatan kolonialisme atau kapitalis  yang bersifat eksploitatif.
Ketiga,  sesuai dengan fungsi islam sebagai rahmatan lil alamin[15],  maka ilmu dan teknologi dikembangkan oleh para ilmuwan membawa rahmat  bagi seluruh umat manusia, bukan sebaliknya membawa laknat, bencana dan  malapetaka. Dengan demikian iptek harus dikelola dengan etika sehingga  tidak merusak kehidupan manusia, ekosistem flora dan fauna di muka bumi.[16]
Keempat, erat  hubungannya dengan prinsip diatas, ilmu dan teknologi boleh  dikembangkan sejauh mungkin selama berlandaskan etik atau moral yang  jelas. Ilmu dan teknologi sebagai bagian dari kehidupan manusia guna  mencapai sebuah kesejahteraan. Oleh karena itu harus tetap berlandaskan  moral.
Kelima, pengembangan ilmu dan teknologi harus memiliki korelasi yang positif  bagi  meningkatkan ketakwaan kepada Sang Pecipta, sehingga melahirkan ilmuwan  yang beriman (Ulil Albab). Dengan demikian intelektual mukmin akan  terhindar dari kecongahan intelektual (dodol/geblek).
Iman perlu dibina dengan pemahaman terhadap gejala-gejala alam semesta. Dengan demikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan ilmu. Karena segala ilmu berasal dari Allah, yang Maha Segalanya. 
C.     Agama dan Ilmu Pengetahuan
Agama  dan ilmu pengetahuan (sains), adalah dua kata yang memiliki arti  universal. Agama adalah pandangan tertentu kepada kehidupan. Agama  membentuk suatu aturan dan undang-undang berdasarkan pandangan tersebut.  Sementara sains adalah pengetahuan yang mencoba mengungkapkan misteri  alam beserta isinya. Hal tersebut memungkinkan manusia dapat menyingkap  misteri alam, mamanfaatkan dan meramalkan sesuatu yang bakal terjadi di  kemudian hari. Oleh karena itu, sains membatasi ruang geraknya pada  segenap gejala yang ditangkap oleh pengalaman manusia melalui panca  inderanya.
Terdapat  teori ilmu pengetahuan, Alquran memberikan gambaran yang secara urut  mempunyai skala menarik, yakni: (a) pengetahuan yang diperoleh dari  kesimpulan atau ilmu yakin[17], (b) pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan dan yang dilaporkan oleh pengamatan atau ainul yakin[18], dan (c) pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau intuisi atau haqqul yakin.[19]
Pengetahuan yang pertama, ilmu yakin, terdapat  keyakinan yang lebih besar terhadap pengetahuan manusia yang didasarkan  kepada pengalaman akal actual yang diperoleh melalui observasi dan  eksperimentasi terhadap suatu gejala atau fenomena.
Pengetahuan bentuk kedua yakni, Ainul Yakin, adalah pengetahuan ilmiah yang didasarkan kepada pengalaman observasi  atau ekperimentasi maupun pengetahuan sejarah yang didasarkan kepada  laporan-laporan dan penggambaran dari pengalaman aktual.
Pengetahuan tertinggi yakni, Haqqul Yakin,  pengalaman melalui batin memberikan derajat paling tinggi, dan petunjuk  Allah mula-mula datang kepada makhluknya dari sumber manusia sendiri.
             Ilmu agama, seperti Ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadits, serta ilmu  akhlak mengantarkan manusia dapat memahami agama Islam dengan benar dan  meyakininya, mengamalkannya dengan ikhlas, berakhlak mulia dan  perbuatan-perbuatan baik lainnya. Dengan demikian, apabila di suatu  masyarakat yang penduduknya memiliki pengetahuan agama yang baik, maka  biasanya suasana pada masyarakat yang demikian itu aman dan tentram.
             Ilmu pengetahuan umum yang berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan  juga manfaatnya bagi masyarakat tidak berbeda dengan manfaat ilmu  agama, asalkan digunakan sejalan dengan tuntunan agama. Manusia dengan  akalnya diberikan oleh Allah kemampuan untuk menyerap sejumlah ilmu  pengetahuan, walaupun hanya sedikit saja dibandingkan dengan  kesempurnaan ilmu Allah, akan tetapi tetap harus berpegang kepada  kebenaran untuk mencari ridho Allah SWT.[20]
BAB III
KESIMPULAN
            Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Alquran adalah konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya, tingkat kepentingannya hanya berada di bawah konsep tauhid.
            Kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam adalah sebagai berikut; Manusia diangkat sebagai khalifatulllah (penguasa),  dan dibedakan dari makhluk lain karena ilmunya. Hakikat manusia tidak  terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Alquran  diturunkan dengan ilmu Allah, dan hanya dapat direnungkan atau  dimengerti maknanya oleh orang-orang yang berilmu.  Alquran memberikan  isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki ilmu  pengetahuan. Allah melarang manusia untuk mengikuti suatu perbuatan  tanpa memiliki ilmu mengenainya. Di sini Islam menuntut agar manusia  tidak bersikap dan bertindak kecuali berdasarkan ilmu.
Empat sumber yang  ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara  lain: Alquran dan Assunnah, Sejarah umat manusia, Manusia itu sendiri,  dan Alam semesta.
             Untuk memperoleh pengetahuan, manusia bisa menempuh melalui dua cara,  yaitu: Jalur Ilahiyah, yakni, Manusia memperoleh ilmunya dari  informasi-informasi Ilahiyah (ilmu pengetahuan yang diwahyukan) melalui  kitab suci Alquran secara langsung, siap pakai dan tanpa  harus menggunakan prosedur metode ilmiah. Dan Jalur Insaniyah, Melalui  jalur ini manusia mendapat ilmunya setelah melalui proses pencarian ilmu  dengan berolah fikir, berolah jiwa berolah indera, maupun dengan cara  berolah raga.
            Terdapat teori ilmu pengetahuan dalam Alquran yakni: (a) pengetahuan yang diperoleh dari kesimpulan atau ilmu yakin[21], (b) pengetahuan yang diperoleh dari penglihatan dan yang dilaporkan oleh pengamatan atau ainul yakin[22], dan (c) pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman pribadi atau intuisi atau haqqul yakin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumiddin, Bandung: Mizan, 1996
Alim Muhammad, Pendidikan Agama Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung:    2006
Qodir C.A.. Filsafat dan ilmu Pengetahuan dalam Islam. Yayasan obor Indonesia,            Jakarta: 1989
http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/
http://e-coversance.blogspot.com/2011/02/ilmu-pengetahuan-umum-dalam-agama-islam.html
         [3] http://e-coversance.blogspot.com/2011/02/ilmu-pengetahuan-umum-dalam-agama-islam.html diakses pada tanggal 09/03/2012
         [5] http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/ diakses pada tanggal 09/03/2012
         [15] QS Al-Anbiya’, 21:107
         [20] http://zaldym.wordpress.com/2009/02/20/pandangan-islam-tentang-ilmu-pengetahuan/ di akses pada tanggal 09/03/2013
[21] QS At Takatsur, 102:5
| 
 | 
AMANS
| MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI | 
 | 
0 komentar:
Posting Komentar