BAB IX
ALIRAN ASY’ARIAH
Dalam  suasana Mu’tazilah yang keruh Al-Asy’ari dibesarkan dan dididik sampai  mencapai usia lanjut. Ia telah membela Aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya,  kemudian aliran ini ditinggalkannya, bahkan dianggapnya sebagai lawan.
1.      Siapa Al-asy’ari
Namanya  Al-Hasanali bin Ismail Al—Asy’ari, beliau dilahirkan di kota Basrah  pada tahun 260 H atau 873 M dan wafat pada tahun 324 H atau 935 M,  keturunan Bumasa Al-Asy-ari. Pada waktu kecilnya Al-Asyari berguru pada  seorang tokoh Mu’tazilah terkenal Abu ali al-jubbai, untuk mempelaji  agama-agama mu’tazilah.Aliran ini di anut sampai usia 40 tahun menurut  riwayat ,ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dan  orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana kemudian ia pergi ke  masjid besar basrah untuk menyatakan di depan orang banyak bahwa ia  mula-mula memeluk paham Aliram Mu’tazilah. Lalu Al-Asy’ari meninggalkan  Aliran Mu’tazilah karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran  tersebut. Karena melihat adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin  yang bias melemah mereka kalut tidak segera di akhiri sebagai seorang  muslim akan keutuhan kaum muslim. 
Segera di akhiri sebagai seorang muslim akan keutuhan kaum muslim ia sangat  mengkhawatirkan  qur’an dan hadis nabi yang akan menjadi korban aliran mu’tazilah  menurut pendapat nya tidak dapat di benarkan karena di dasarkan atas  pemujaan kekuatan akal pikiran.
Faktor-faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari
a)         Kaum  muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan  perbedaan dan pertentangan yang berakibat ketidaksenangan terhadap  aliran tersebut.
b)        Imam Asy’ari sendiri seorang yang ulung dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam.
c)         Sejak masa Al-Mutawakkil telah meninggalkan aliran mu’tazilah.
d)        Imam Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat dan yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya.
e)         Pemerintah  Banu Buwaihi yang bercorak syiah dan menjadi tulang punggung aliran  mu’tazilah telah di gantikan oleh pemerintah saljuk turki yang bercorak  sunni menyokong aliran Ahlussunnah.
2.      Karangan-Karangannya
Karangannya yang terkenal dan sampai kepada kita ada tiga yaitu:
a)        Mawatul Islaniyyin
b)        Al-Ibanah’anUsulidDiyanah
c)        Al-Luma’
3.      CorakPikirannya
Ia  menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal  pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah  di singgung oleh rasul merupakan suatu kesalahan.
4.      Pendapatnya
Hampir  setiap pendapatnya bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat  pihak-pihak yang berlawanan pada masanya, contohnya:
a.       Sifat
Aliran  mu’tazilah tidak mengaku sifatsifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah  sifat zat lain seperti sama basher dll tidak lain hanya zat tuhan  sendiri.
b.      KekuasaanTuhan Dan PerbuatanManusia
Menurut  aliran mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan  suatu kekuasaan yang di berikan tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah  manusia tidak berkuasa mengadakan sesuatu.
c.       MelihatTuhanPadaHariKiamat
Menurut  aliran Muta’zilah tuhan tidak dapat di lihatdengan mata kepala. Menurut  golongan Musyabbihah, tuhan dapat di lihatdengan cara tertentu .
d.      DosaBesar
Aliran  mu’tazilah mengatakan apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dan  dosanya itu,meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan , tidak akan keluar  dari neraka. 
Demikianlah beberapa pendapat imam asy’ari.
5.      Tokoh- tokohAliranAsy.ari
a.      Al-Baqillani (wafat 403H)
b.      IbnuFaurak (wafat 406)
c.       IbnuIshak Al—Isfarauni( wafat 418H)
d.      Abdul Kahir al-bagdadi(wafat 429H)
e.      Imam al- juwaini(wafat478H)
f.        Abdul mudzaffar al-isfraini (wafat478H)
g.      Al-Ghazali(wafat505H)
h.      IbnuTumart (wafat 524H)
i.        As-Syihristani (wafat548H)
j.        Ar-Razi (wafat1149-1209M)
k.       Al-Iji (wafat756H/1359M)
l.        As-sanusi (wafat859H)
Inilah mereka yang mempunyai usaha- usaha yang jelas dalam menyiarkan dan menjelaskan ajaran-ajaran Imam Al-asy’ari
Yaitu:                   a. Al-Baqillani             b.Al- JUwaini              c.Al-Ghazali
1.      Perkembangan Aliran Asy’ariah
Pikiran-  pikiran imam al asy’ari merupakan jalan tengah antara golongan-golongan  yang berlawanan atau antara aliran rasionalis dan textualis .Jadi,  aliran pada akhir perkembangannya me3ndekati aliran Mu.tazilah karena  kedua aliran tersebut memegangi prinsip yang  mengatakan bahwa pengetahuan yang di dasarkan atas unsu-unsur naqli tidak memberikan keyakinan kepada kita.
2.      Aliran As’Syariah Identik Dengan AhlusSunnah
Pendapat-pendapatnya di sebut “pendapat ahlussunnahwaljamaah” atau  “ahlusunnah” (tanpa al jamaah) dan sebutan ini banyak di pakai, atau sebutan “madzahibussalaf waahlussunnah”
Penyebutan ahlussunnah sudah di pakai sejak sebelum al’asy’ari mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwaKebalikan dari  merekaialah  “ahlur Raji”(pemegang pendapat pikiran). Dari penghubungkedua metode  alirantersebut timbullah aliran tengah-tengah aliran  as-syfi’I.  Pada waktu aliran mu’tazilah timbul dalam lapangan “aqidah dengan  pendapat-pendapatnya yang bercorak rasionalis dan tidak segan-segan  menolak hadis-hadis yang berlawanan dengan ketentuan akal pikiran.
3.      AqidahAhlussunnahWalJamaah
Ciri  akidah ahlussunnah waljamaah harus di cari pada”aqidah” yang berbeda  dengan aqidah golongan lain, terutama aliran mu’tazilah.  Kepercayaan-kepercayaan ahlussunah antara lain:
a.         Tuhan bisa di lihatdengan mata kepala di akhirat
b.        Sifat tuhan
c.         Qr’an sebgai manifestasi kalamullah yang qadima dlh qadim, sedang quran yang berupa huruf dan suar adalah baru
d.        ciptaan tuhan tidak karena tujuan
e.         Tuhan menghendaki kebaikan
f.         tuhan tidak wajib:
·         Membuat yang baik dan terbaik
·         Mengutus utusan(rasul-rasul)
·         Memberipahalakepada orang yang taatdanmenjatuhkansiksaatar orang yang durhaka.
g.        Tuhan boleh member beban di atas kesanggupan mereka
h.        Kebaikan dan keburukan tidak dapat di ketahui
i.          Pekerjaan manusia tuhanlah yang menjadikannya.
j.          Ada syafaat  pada hari kiamat
k.        Utusan Nabi MuhammadSAW  di perkuat dengan mukjizat-mukjizat.
l.          Kebangkitan di akhirat
m.      Syurga dan neraka Makhlik kedua-duanya
n.        Semua sahabat-sahabat Nabi adil dan baik
o.        Sepuluh orang sahabat yang di janjikan masuk syurga oleh nabi pasti terjadi
p.        Ijmaadalahsuatukebenaran yang harus di terima
q.        Orang mukmin yang mengerjakan Dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa dan akhirnya masuk surga.
4.      Perluasa Arti AhlusSunnah Waljamaah.
Di  atas telah di sebutkan, bahwa sebutan “ahlussunnah” pertama- tama di  pakai untuk aliran asy’ariah, jadi aliran teology islam. Akan tetapi  kemudian sebutan itu di perluas artinya.s ehingga meliputi  mazhab-mazhabfiqh. Menurut al-baghdadi yang termasuk aqidah dan golongan  ahlussunnah waljamaah, ialah:
·         Orang yang mengetahui benar- benar soal ketahui dan kenabian
·         Tidak mencampurkan bid’ah-bid’ah dengan golongan lain
·         Mengetahui jalan- jalan hadis dan membedakan antara yg benar dan salah dengan tidak tersangkut kepada bidah yg sesat.
·         Mereka yang mengetahui kebanyakan persoalan kesusastraan
·         Mereka yang mengetahui macam-macam qiraat quran dan tafsir
·         Ahli Zuhud dan golongan tasawuf yang giat beramaldan tidak banyakbicara.
·         Mereka yang bertempat di pos- pos kaum muslim untuk menjaga dan mempertahankan negri islam dan mazhab ahlussunnah
5.      UlasanTerhadapAhlussunnah
Sesuai  dengan kedudukan aliran Asy’ariah sebagai aliran yang terbesar dan  masih tetap di peluk sampai sekarang oleh sebagian besar kaum muslimin  Pertama-tama  maksud berdirinya ahlussunnah adalah agar kaum muslimin dapat memahami  aqidah-aqidahnya kembali kepada sahabat dan masa tabi’in. Ulama  ahlusunnah juga membicarakan jauhar, aradh, jisim, zat dan sifat  kebaikan dan keburukan menurut pertimbangan akal dan syara. 
Ahlussunnah juga menggunakan ta’wil terhadap ayat-ayat Mutasyabihat seperti  al-juwaini dan  al-ghazali, suatu hal yang tidak pernah di kerjakan oleh sahabatdan tabi’in. 
BAB X
ALIRAN MATUIDIAH
1.      Siapa Al-Maturidi
Nama  pendiri aliran Maturidiah, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad,  kelahiran Maturid, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan  ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333 H.
Ia  mencari ilmu pada pertiga terakhir dan abad ketiga hijrah, di mana  aliran Mu’tazilah sudah mulai mengalami kemundurannya, dan di antara  gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya,  negri tempat ia di besarkan menjadi arena perdebatan antara aliran fiqh  hanafiah dengan fiqh syafiiyah, bahkan upacara-upacara kematian pun  tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga  perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan  aliran Mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam (ilmu kalam).
Menurut  ulama-ulama hanafiah, hasil pemikiran al-maturidi dalam bidang aqiqah  sama benar dengan pendapat-pendapat imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah  sebelum menceburkan dirinya dalam lapangan fiqh dan menjadi tokohnya,  telah lama berkecimpung dalam lapangan aqiqah serta banyak pula  mengadakan polemic dan perdebatan seperti yang di kehendaki oleh suasana  zamannya, dan salah satu buah karyanya dalam lapangan aqiqah ialah  bukunya yang berjudul al Fiqhul Akbar.
Dan  perbandingan itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-Maturidi sebenarnya  berintikan pikiran-pikiran Abu Hanafiah dan merupakan penguraiannya  yang lebih luas. Pertalian antara kedua tokoh tersebut di kuatkan oleh  pengakuan al-Maturidi sendiri, bahwa ia mempelajari buku-buku Abu  Hanafiah dengan suatu silsilah nama-nama yang di mulai dengan gurunya  dan seterusnya sampai kepada pengarangya sendiri.
Kebanyakan  ulama-ulama Maturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqh  Hanafiah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul  Hammam, dan lain-lainnya. Akan tetapi mereka tidak sekuat pengikut  aliran Asy’ariah.
2.      Sistem Pemikirannya
Untuk  mengetahui system pemikirannya al-Maturidi, kita tidak bisa  meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, sebab ia  tidak bisa terlepas dan suasana masanya. Baik al-Asy’ari maupun  al-Maturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama,  yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah negerinya, yaitu  Samarkand dan Iran pada umumnya, sebagai cabang atau kelanjutan aliran  Mu’tazilah Basrah dan yang mengulang-ulang pendapatnya.
Meskipun  pendapat-pendapat al-Asy’ari dan al-Maturidi sering-sering berdekatan,  karena persamaan lawan yang di hadapinya, namun perbedaan-perbedaannya  masih selalu ada Perbedaan-perbedaan itu bisa kita dapati setelah  memperbandingkan buku-buku Ilmu kalam menurut Asy’ariah dengan buku-buku  aliran Maturidiah, seperti al-Aqidun Nasafiah karangan Najmuddin  an-Nasafi.Berbeda dengan pendapat Syekh M. Abduh dan Ahmad Aniin, maka  Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa perbedaan antara al-Asya’ari dan  al-Maturidi sebenarnya lebih jauh lagi, baik dalam cara berpikir maupun  dalam hasil-hasil pemikirannya, karena al-Maturidi memberikan kekuasaan  yang luas kepada akal lebih dan pada yang  di berikan oleh al-Asy’ari untuk jelasnya, di bawah ini di sebutkan pendapat-pendapat al-Maturidi :
1.    Kewajiban mengetahui tuhan 
Menurut  al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui tuhan,  seperti yang di perintahkan oleh tuhan dalam ayat-ayat Qur’an untuk  menyelidiki alam, langit, dan bumi. Akan tetapi meskipun akal  semata-mata sanggup mengetahui tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui  dengan sendirinya hokum-hukum taklifi (perintah-perintah tuhan), dan  pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. Pendapat al-Maturidi  tersebut mirip dengan pendirian aliran Mu’tazilah. Hanya perbedaanya  ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu di  wajibkan oleh akal, maka menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban  mengetahui Tuhan dapat di ketahui akal, tetapi kewajiban itu sendiri  datangnya dari tuhan.
2.    Kebaikan dan keburukan menurut akal
Al-Maturidi  mengakui adanya keburukan obyektif dan akal bisa mengetahui kebaikan  dan keburukan sebagian sesuatu perbuatan. Seolah-olah mereka membagi  sesuatu perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat di  ketahui kebaikannya dengan akal semata-mata dan sebagian lagi yang tidak  jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan  bagian terakhir ini hanya bisa di ketahui dengan melalui Syara’.  Pendapat Al-Maturidi tersebut tidak sesuai dengan pendapat al-Asy’ari  yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan  obyektif melainkan kebaikan itu ada karena adanya perintah Syara’ dan  keburukan itu tergantung kepada tuhan . dengan demikian, ternyata bahwa  pikiran-pikiran Al-Maturidi berada di tengah-tengah antara aliran  Mu’tazilah dan aliran Asyariah.
3.    Hikmat dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut  aliran Aay’ariah, segala perbuatan Tuhan tidak bisa di tanyakan  mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan, sedang menurut aliran  Mu’tazilah sebaliknya, karena mereka Tuhan tidak mungkin mengejakan  sesuatu yang tidak ada gunaya.
Menurut  aliran al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan mengandung  kebijaksanaan, baik dalam ciptaan-ciptaannya maupun dalam perintah.
BAB XI
ALIRAN SALAF
Aliran salaf terdiri dari  orang-orang Hanabiyah yang muncul pada abad keempat Hijrah denganmempertalikan dirinya dengan  pendapat-pendapat Imam  Ahmad bin Hanbal, yang  dipandang oleh mereka  telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian  ulama  Salaf  orang-orang Hanabilah menamakan diri mereka dengan sebutan “aliran  Salaf” di karenakan pendapat ulama Salaf itulah yang menjadialas an  berdirinya
Diantara  golongan Hanabilah dan aliran Asy’ariah sering terjadi pertentangan  fisik maupun mental. Hadirnya Ibnu Taimiah di Siria (661-728 H) menjadi  kekuatan baru bagi golongan ini kemudian pada abad ke 12 aliran Salaf  tersebut dihidupkan kembali oleh Syekh Muhammad Bin Abdil Wahab di Saudi  Arabia, yang pendapatnya dikenal sebagai aliran Wahabiah.
1.      Ibnu Taimiah
Ahmad  Bin Abdil Halim Bin Taimiah lahir di Harran tahun 661 H. ia mendapat  gelar “Muhjis Sunnah” ( yaitu sebagai seorang pembangun atau penghidup  Assunnah ). Meskipun pemerintahan pada masanya, yaitu golongan Banu  Buwaihi mendukung aliran Syafli, dalam fiqh dan aliran Asy’ariah dalam  hal kepercayaan, tapi tidak se menghalanginya untuk mendalami pendapat  Imam Ahmad bin Hanbal dalam kajian fiqh atau kepercayaan, sampai ia  menjadi tokoh Hanabilah. Keterkenalannya manjadikan ia mendapatkan  banyak masalah, karena keberaniannya mengemukakan pendapat yang  berlawanan dengan pendapat orang pada waktu itu, sehingga ia  berkali-kali ditangkap oleh para penguasa.
Penangkapan yang terakhir  terjadi karena  pendapatnya  yang mengatakan bahwa ziarah ke kubur nabi-nabi dan orang-orang saleh  tidak wajib. Karena pendapat tersebut ia dipenjarakan di sebuah benteng  (qal’ah) di Damsyik dan di tempat itu pulalah ia menghembuskan  napasnya yang penghabisan  pada tahun 727 H.
Karangan-karangannya  mencapai 300 buah. Yang diantaranya berisi tentang Tafsir, Fiqh, Jadal.  Juga berisi tentang jawaban pertanyaan,  fatwa-fatwa dan serangan-serangan atas aliran-aliran dalam Islam, yaitu Tassawuf, Filsafat dan sebagainya.
2.      Sistem Pemikiran Salaf
Ibnu Taimiah membagi metode ulama-ulama Islam dalam lapangan aqidah menjadi empat yaitu :
a)      Aliran  filsafat yang mengatakan bahwa Quran berisi dalil “khatabi” dan “iqnal”  (dalil yang penenang dan pemuas hati, bukan pemuas pemikiran).
b)      Aliran Mu’tazilah terlebih dahulu memang dalil akal yang rasionil, sebelum mempelajari dalil-dalil Quran.
c)      Golongan ulama yang percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan oleh Qur’an.
d)     Golongan  yang mempercayai aqidah dan dalil-dalilnya yang disebut dalam al-quran,  tetapi mereka juga menggunakan dalil akal pikiran disamping dalil-dalil  al-qur’an.
Menurut  ibnu taimiah, motede aliran salaf berbeda sama sekali dengan metode  keempat tersebut. Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk  mena’wilkan qur’an/menafsirkan ataupun menguraikannya,kecuali dalam  batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata dan dikuatkan pula  hadis-hadis, kekuasaan akal pikiran sesudah itu tidak lain hanya  membenarkan dan tunduk kepada nas, serta mendekatkannya kepada pikiran.
Sikap  aliran salaf tersebut bukan sikap apatis, skeptis, dan pesimis,  melainkan suatu kesadaran dan pengakuan akan adanya batas-batas  kemampuan daya kerja akal manusia dan lapangannya dlam bidang metapisika  dan alam gaib, apabila dilampauinya maka ia akan sesat.
3.      Aqidah aliran Salaf
Teori  aqidah islam digolongkan menjadi satu persoalan saja, yaitu ‘keesaan  (ketuhanan) yang mempunyai tiga segi,yaitu ’keesaan zat’ dan ‘sifat’,  keeesaan penciptaan  dan keesaan ibadah (pengabdian din kepada tuhan).
a.       Keesaan dan sifat
Keesaan  tuhan tidak ada yang menyerupai-Nya. Akan tetapi menurut Ibnu Taimiah,  konotasi (kandungan perkataan ’keesaan’ (tauhid) dan perkataan-perkataan  lainnya yang ada hubungannya dengan perkataan tersebut yaitu penyucian  (Tanzih), penyerupam (Tasbih), dan penjisiman (Tajaim anthropomorph)  dapat berbeda-beda menurut orang yang memakainya bagi tiap golongan yang  mengartikannya.
Arti  “pengesaan” dan “penyucian” bagi aliran Mu’tazilah ialah meniadakan  semua sifat-sifat, dan anti “peneyrupaan” dan “penjisiman” ialah  menetapkan sebagian sifat-sifat  itu, sehingga orang yang  mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala atau Tuhan  mempunyai sifat Kalam, dianggap telah menjisimkan Tuhan .
Menurut golongan filosof mengartikan  “pengesaan”  adalah  apa yang pada Tuhan hanya sifat-sifat ma’ani seperti member rezqi,  marah, kasih sayang dan sebagainya, sedang arti dari “Penyerupaan” dan  “penjisiman” ialah menetapkan semua atau sebagai sifat-sifat itu.
Perbedaan para ulama tentang connotasi (kandungan arti)  tentang  perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk menuduh  orang lain menjadi kafir. Aliran Salaf tidak pernah mengkafirkan  lawan-lawannya, melainkan hanya memandang meraka sesat, seperti golongan  filosof, Mu’tazilah, dan golongan Tasawuf yang mempercayai persatuan  dengan Tuhan atau peleburan pada zatnya (fana’).
Aliran  Salaf menetapkan sifat-sifat , nama-nama perbuatan-perbuatan dan  keadaan (ahwal) yang termuat dalam Qur’an dan Hadist yang juga biasa di  sebut Asma’ul Husna. Jadi sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran  Salaf. Jadi tangan Tuhan tidak sama dengan tangan manusia. Dengan kata  lain, aqidah aliran Salaf terletak diantara  “tathil” (peniadaan Tuhan) dan “tasybih” (penyenipaan Tuhan dengan makhluknya).
4.      Keesaa penciptaan
Ialah  bahwa Tuhan mencptakan langit dan bumi, apa yang ada di dalamnya atau  yang terletak di keduanya, tanpa sekutu dalam menciptakannya. Kelanjutan  dan kepercayaan tersebut ialah ialah persoalan “Jabar dan Ikhtiar” dan  “apakah perbuatan Tuhan terjadi karena untuk mencapai sesuatu tujuan  tertentu atau tidak”.
5.      Keesaan Ibadah
Artinya  seorang manusia tidak mengarahkan ibadahnya selain kepada tuhan, dan  hal agama baru terwujud apabila dua hal berikut agama dipenuhi, yaitu :
a)      Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengakui ketuhanan selain TUhan.
b)      Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan oleh Tuhan melalui rasul-rasul-Nya.
Kelanjutan dan kedua hal tersebut ialah
Larangan  mengangkat manusia, hidup atau mati sebagai perantara kepada Tuhan.  Ibnu taimiah mengakui bahwa ada manusia yang mempunyai keramat, tetapi  hal ini  tidak berarti bahwa dia dapat terhindar dari kesalahan. Oleh karena itu orang-orang saleh meminta  kepada  Tuhan agar di beri Istiqamah, bukan keramat. Kita tidak boleh meminta  sesuatu kepada Nabi-nabi dan orang-orang saleh sesudah mereka wafat.  Sebab yang berhak dimintai pertolongan hanyalah Zat yang sanggup  mengadakan perubahan dan hal agama hanya dimiliki oleh Tuhan  semata-mata.
a)    Permintaan  tolong seorang makhluk kepada makhluk yang lain bagaikan permintaan  tolong dan orang yang mau tenggelam kepada orang yang mau tenggelam  pula.
b)   Larangan  memberikan nazar kepada kuburan atau penghuni kuburan atau penjaga  kuburan. Dalam hal ini ibnu taimiah mengatakan perbuatan tersebut adalah  haram, dan ia menjadi musyrik yang harus di hokum mati.
c)    Larangan  ziarah ke kubur-kubur orang saleh dan Nabi-nabi. Maksud dalam larangan  ini apabila seseorang dengan maksud minta berkah atau mendekatkan diri  dengan Allah.  Sedang kalau mencari suri tauladan dan nasehat, maka di perbolehkan, bahkan dianjurkan.
d)   Nabi melarang kuburnya dijadikan mesjid, supaya jangan menjadi tempat ziarah. Nabi pernah berkata : “Tuhan mengutuki orang-orang  Yahudi dan Masehi, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabinya sebagai masjid.
e)    Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabatnya apabila hendak memberi salam dan berdoa, mereka menghadap kiblat.
Demikianlah  pendirian Ibnu Taimiah tentang ziarah kubur. Menurut Syekh Abu Zahrah,  pendirian tersebut berlawanan dengan pendirian kebanyakan. Menurut Syekh  Abu Zahrah sendiri bahwa Ziarah ke kubur nabi sangat baik. Minta berkah  sama  sekali bukan berarti ibadah ataupun mendekatinya, melainkan berarti  mengenangkan jasa-jasa Nabi serta mengambil petunjuk dan teladan. Siapa  orang yang tidak akan terharu ketika berhadapan dengan kubur Nabi, di  mana hati menjadi khusyuk dan akal pikiran pun akan tunduk. Pada saat  semacam itulah sesuatu doa bisa mencapai keberkatan.
BAB XII
ALIRAN WAHABIAH
Nama  aliran “Wahabiyah” dipertaliatkan dengan nama pendirinya, yaitu  Muhammad bin Abdil Wahab (1703-1787 M atau 1115-1201 H) dan diberikan  oleh lawan-lawan tersebut  semasa hidup pendirinya, yang  kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa. Nama yang dipakai oleh  golongan wahabi sendiri ialah “Golongan Mutawahhidin” (Unitarians) dan  metodenya mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. Mereka menganggap dirinya  golongan Ahlusunnah, yang mengikuti pikiran-pikiran Imam Ahmad bin  Hambal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiah.
1.      Riwayat Hidup Pendirinya
Muhammada  bin Abdil Wahab dilahirkan di Ujainah, yaitu sebuah dusun di Nadjed,  daerah Saudi Arabia sebelah timur. Salah satu tempat belajarnya ialah  kota Madinah, pada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi.  Sebagian hidupnya digunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke  negeri lain. Empat tahun di Basrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di  Kurdestan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan. Setelah itu  pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai penganjur aliran ahmad bin Hanbal.
Selama  beberapa tahun melakukan perlawatan, kemudian Muhammad bin Abdil Wahab  kembali ke kampong kelahirannya, selama beberapa bulan beliau merenung  an melakukan orientasi dan mengajarkan paham-pahamnya. Seperti yang  dicantumkan dalam bukunya “At-Tauhid” tebalnya 88 halaman dan cetakan  Mekkah. Ajaran yang dibawanya menimbulkan banyak keributan, lalu  Muhammad bin Abdil Wahab diusir dan pindah bersama keluarganya ke  Dar’iah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud (Nenek Raja  Faisal yang berkuasa sekarang).
2.      Aqidah Aliran Wahabiah dan Pertaliannya dengan Aliran Salaf
Aliran  Wahabiah sebenarnya kelanjutan dari Aliran Salaf, yang bepangkal kepada  pikiran-pikiran Ahmad bin Hanbal lalu direkonstruksikan oleh Ibnu  tairniah. 
Aqidah-aqidah  yang pokok dan Aliran Wahabiah pada hakekanya tidak berbeda dengan apa  yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Aqidah-aqidahnya dapat  disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang ‘Tauhid” atau Pengesaan dan  bidang “Bidat”
Dan dalam bidang Ketauhidan, mereka berpendirian sebagai berikut:
a.       Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah. Dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b.      Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasu golongan musyrikin.
c.       Termasuk  dalam perbuatan musyrik memberikan pengantan kata dalam sholat terhadap  nama Nabi-nabi, Wali, ataupun Malaikat (seperti Sayidina Muhammad)
d.      Termasuk  kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Qur’an dan  Sunnah, atau ilmu yang tidak bersumber kepada akal pikiran semata.
e.       Termasuk kufur dan lihad juga mengingkari “Qadar” dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan Ta’wil.
f.       Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a Wirid cukup dengan menghitung keratajari.
g.      Sumber  syariat islam dalam oal halal dan haram hany qur’an semata-mta dan  sumber lain sesudahnya ialah Sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin  dan fuqaha tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak  didasarkan atas kedua sumber tersebut.
h.      Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain:
a.       Berkumpul bersama-sama dalam maulidan.
b.      Orang wanita mengiringi jenazah.
c.       Mengadakan khalakah (pertemuan)zikir.
d.      Merampas buku-buku yang berisi tasawuf, seperti Dalailul Khairat, dan sebagainya.
Kebiasaan  sehari-hari juga dikatagorikan dalam bid’ah seperti merokok, minum  kopi, mamakai pakaian sutera bagi laki-laki, bergambar (foto), mencelip  (memacari) jempol, memakai cincin dan lain-lainnya yang termasuk dalam  soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau mendatangkan paham  keberhalaan.
3.      Cara Penyajian Aqidah-aqidah Wahabiah
Kalau  Ibnu Taimiah sebagai pembangun aliran Salaf, menanamkan paham-pahamnya  dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran pikiran serta  perdebatan, maka Aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajarannya  memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti  ajarannya sebagai bid’ah yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip  “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.
Muhammad  bin Abdil Wahab tidak sendiri dalam mengajarkan ajaranya, Ia  bekerjasama dengan pangeran Muhammad bin Saud ( wafat pada tahun 1765 M)  dan menggantikan ayahnya pada tahun 1724 M. sejak saat itu kekuatan  senjatalah yang dipakai oleh Aliran Wahabiah dalam meyiarkan ajarannya.  Muhammad bin Saud menyatakan bahwa tindakannya tersebut dimaksudkan  untuk menegakkan Sunnah dan mematikan Bid’ah.
Muhammad  bin Abdih Wahab merasakan sendiri bahwa khurafat-khurafat yang menimpa  kaum muslimin di negrinya, bukan saja terbatas pada pemujaan kuburan,  sebagai tempat orang-orang shaleh dan memberikan nazar karenanya, tetapi  menjalar kepada pemujaan benda-benda mati. Karena itu ia menyerukan  untuk tidak menziarahi kuburan, kecuali untuk mencari tauladan, bukan  untuk mencari syafaat dan tasawuflah.
Akan  tetapi gerakan Aliran Wahabiah yang bercorak agama dan bertulang  punggungkan kekuatan Raja Muhammad bin saud, dipandang oleh penguasa  (khalifah) Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu sebagai  perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu  penguasa tersebut mengirimkan tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas  gerakan tersebut.
4.      Kritik terhadap Aliran Wahabiah
Pertama-tama,  Aliran wahabiah tidak mengenal peraasan kaum muslimin, sebab kaum  muslimin dimana pun juga berbangga dengan kubur nabinya dan  sahabat-sahabatnya. Kesemuanya cukup menimbulkan kebencian kaum muslimin  terhadap Aliran Wahabiah, dimana keadaan tersebut kemudian  disalahgunakan oleh penulis-penulis barat, untuk lebih mempertajam rasa  permusuhan di kalangan kaum muslimin dan mempertalikan beberapa  perbuatan, kepada golongan wahabiyah yang sebenarnya mereka sendiri  tidak memperbuat. Kritik  yang lain bahwa Aliran Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran  di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu  pengetahuan dan perkembangan zaman, sedang ajaran-ajaran islam yang  sebenarnya tidak menghalang-halangi bahkan selalu menganjurkan.
Kekaguman  terhadap Muhammad bin Abdi Wahab tidak hanya datang dari kaum muslimin  itu sendiri, bahkan seorang ahli ketimuran, yaitu Dozy (Belanda, Wafat  1883) mengatakan “Martin  Luther, pembaru dan golongan Protestant, telah menyatakan  pemberontakannya terhadap bid’ah yang menyelinap dalam agama Masehi.  Muhammad bin Abdil juga menyatakan pemberontakan yang sama terhadap  bid’ah yang masuk ke dalam islam”.Bagaimanapun juga, Aliran Wahabiah  ermasuk golongan Salaf, sedang golongan Salaf termasuk Ahlusunnah dan  Ahmad bin Hanbal. Karena itu, Aliran Wahabiah termasuk Aliran  AhlusunnahDi Punjab (India Utara)Sayid Ahmad menciptakan Negara Wahabiah  dan memaklumkan jihad terhadap orang-orang yang tidak mempercayai  dakwahnya serta masuk dibarisannya. Ia haji pada tahun 1822-1823 M. juga  di Bengal penyiaran Islam pada abad yang sama mengalami kepesatan,  karena pengaruh golongan Wahabiah.
5.      Pengaruh Aliran Wahabiah
a.       India
Aliran Wahabiah di negri India, dibawa oleh Imam As-Sanusi.
b.      Aljazair
Aliran Wahabiah di negri ini, dibawa oleh Imam Asnusi.
c.       Mesir
Syekh  M. Abduh menyiarkan Aliran Wahaiah, meskipun ia tidak mengikatkan diri  kepadanya semata-mata, karena ia menggali langsung pokok-pokok mazhab  Salaf, sejak masa Rasul sampai kepada Ibnu Taimiah dan sampai kepada  Muhammad bin Abdil Wahab. Dasar-dasar pahamnya sama dengan dasar-dasar  yang dipakai oleh Aliran wahabiah.
d.      Sudan
Orang  yang membawa paham Wahabiah ke Negara Agama ialah Usman Danfuju,  terkenal sebagai seorang pembaru, penganjur dan pejuang. Ia pergi ke  Mekkah untuk menunaikan haji pada waktu aliran Wahabiah sedang mencapai  puncak kepesatannya. Setelah pulang kenegrinya, jiwanya penuh semangat  untuk memperbaiki agama dan da’wah Islam.
e.       Indonesia
Ajaran-ajaran  Wahabiah mula-mula dibawa ke Indonesia oleh tiga orang dan Sumatera  Barat yang pergi haji pada tahun 1803 M. ketika mereka berkunjung ke  Madinah, mereka tertarik sekali dengan Gerakan Wahabiah. Setelah pulang  ke Indonesia, ajaran-ajaran Aliran Wahabiah diperkenalkan kepada  penduduknya. Namun pada akhirnya gerakan mereka menjadi suatu peperangan  yang terkenal dalam sejarah Indonesia sebagai “Perang Padri”.
Pada  masa-masa sesudahnya, pengaruh ajaran Wahabiah di Indonesia lebih  meluas lagi, baik melalui orang-orang yang hajiataupun melalui buku-buku  Syekh Muhammad abduh dari Mesir.
Riwayat Hidup Syekh Muhammad Abduh
Syekh  Muhammad Abduh termasuk keluarga petani sedang. Ayahnya bernama “Abduh  Chairullah”, penduduk kampong “Nasr” daerah “Subrakhit” dan propinsi  “Buhairah” (Mesir bawah). Karena tindasan dari penguasa negrinya, Abdul  Chairullah meninggalkan kampong halamannya, untuk menuju profinsi  “Gharbiah” dan disana beliau kawin dengan “junainah” seorang wanita  terpandang di kalangan familinya, dari perkawinan Abduh Chairullah dan  junainah, lahirlah seorang anak laki-laki pada tahun 1849 dan diberi  nama Muhammad (abduh)
Setelah  15 tahun tinggal di Gharbiah, Abdul Khairullah beserta keluarganya  pulang ke kampung halamannya yang semula, dimana kemudian kawin lagi  dengan seorang wanita lain dan memiliki seorang anak. Setelah selesai  menghafal Al-Qur’an, maka pada tahun 1862 M, ia dikirim ke kota Tanta,  untuk belajar ilmu-ilmu Isla disana, tetapi pelajarannya tidak  berlangsung lama, karena anjuran pamannya ia mau kembali ke Tanta pada  tahun 1865 M, dan pada tahun berikutnya ia pergi ke Kairo dan terus  menuju Mesjid Al-Azhar, untuk hidup sebagai seorang sufi. Akan  tetapikemudian kehidupan agama ditinggalkannya karena anjuran pamannya  itu pula. Pada tahun 1872 M, Syekh Muhammad Abduh berhubungan dengan  Jamaluddin Al-Afghani, untuk menjadi muridnya yang setia. Karena  pengaruh gurunya, ia terjun ke lapangan persurat-kabaran pada tahun 1876  M. setelah menamatkan pelajaran di Al-Azhar, dengan mendapatkan ijazah  “Alimiyyah” ia diangkat menjadi guru di Darul “Ulum. Akan tetapi karena  sebab-sebab yang tidak diketahuinya, ia dibebaskan dari jabatannya itu  dan dikirim ke kampong halamannya,sedang Jamaluddin sendiri diusir dari  Mesir.
Pada  tahun 1880 M, Muhammad Abduh dipangil oleh cabinet partai Liberal  (bebas-ahrar) untuk diserahi jabatan kepala redaksi surat kabar  “al-Waqai’ul-Misriyah” dank arena pimpinannyayang baik dalam surat kabar  tersebut ia menjadi buah tutur orang banyak.
Meskipun  tujuan Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh sama yaitu  pembaharuan masyarakat Islam, namun cara untuk mencapai tujuan itu  berbeda. Kalau yang pertama menghendaki jalan revolusi, maka yang kedua  memandang bahwa revolusi dalam lapangan polotik tidak aka nada artinya,  sebelum ada perubahan mental secara berangsur-angsur.
Pemberontakan  Irabi Pasya di mesir telah mengakhiri kegiatan syekh Muhammad Abduh,  karena paa tahun 1882 M, ia diusir dari Mesir (di-externir). Oleh karena  itu, ia pertama-tama pergi ke Beirut kemudian pada awal tahun 1884 M,  ia pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin  Al-Afghani. Kedua tokoh agama kemudian mendirikan suatu perhimpunan yang  kuat) dan menerbitkan majalah bulanan dengan nama yang sama.
Tujuan  perhimpunan agama ialah membersihkan Mesir dan pendudukan tentara asing  dan mengingatkan bangsa-bangsatimur akan bahaya Eropa, terutama  inggris. Meskipun majalah ini hanya berusia delapan bulan saja, namun  besar pengaruhnya dalam membngunkan semangat kebangunan di dunia timur  islam.
BAB XIII
FIRQAH UMAT ISLAM ANTARA AHL AL-BIDA’ DAN AHL AL-SUNNAH WAL AL-JAMA’AH
1.      Munculnya Firqah Besar dalam Islam
Asal  mula kemunculan firqah (kaum, aliran, kelompok, golongan, atau paham)  dilatarbelakangi oleh perbedaan dan perselisihan pandangan tentang  masalah politik dan teologi. Karena perbedaan dan perselisihan tersebut  pandangan tersebut, satu firqah dengan mudah mengkufurkan firqah lainnya.
Terkait  dengan istilah firqah, tampaknya penting untuk dicatat tentang asal  mula term ahl al-sunnah wa al-jamah. Hal ini menarik karena harus diakui  bahwa paham ahl al-sunnah wa al-jam’ah telah dianut oleh mayoriatas  umat islam di dunia pada umumnya dan di indonesia pada khususnya.  Menurut peneliti istilah ahl al-sunnah wa al-jama’ah memang tidak  dikenal pada masa Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan pada masa Bani  Umayah (41-133/61 1-750) dan pada  masa Bani Abbasiyah (750-1258), khususnya pada  masa  khalifah al-ma’mun (198-218/813-833) karena pada masa ini telah  berkembang firqah mu’tazilah yang tidak terlalu mementingkan sunnah Nabi  karena keraguannya terhadap orisinalitas sunnah. Oleh  karena itu Mu’tazilah pada saat itu merupakan kelompok minoritas, sebab  mu’tazilah ditentang oleh mayoritas umat islam saat yang menanamkan  dirinya ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Ahl  al-sunnah wa al-jama’ah sudah muncul sejak abad ke-9 M, maka diduga  nama ahl al-sunnah wa al-jama’ah lebih muncul dalam kitab Maqalat  al-Islamiyyin karya al-Asy’ari dibandingkan dalam kitab Syath al-Fiqh  al-Akbar karya Abu al-Layts al-Samarqandi. Kemudian setelah timbulnya  paham Asy’ariyah sebutan Ahl al-sunnah wa al-jama’ah semakin dipakai.  Hanya saja berbeda-beda seperti Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah atau Ahl  al-sunnah wa Ashhab al-Hadits, Ahl al-sunnah wa alstiqamah, dan Ahl  al-Haqq wa al-sunnah. 
Ibn  Taymiyah menyatakan bahwa istilah suni yang identik dengan Ahl  al-hadits telah digunakan jauh sebelum masa al-Asy’ari dan mazhab Ahl  al-hadits adalah mazhab lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya  empat mazhab fikih. Mazhab ini merupakan mazhab para sahabat Nabi yang  mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi dan para pengikut  mereka (tabi’in).
Para  ahli memandang bahwa ciri utama firqah itu adalah moderat dan berada di  tengah-tengah, antara rasionalis-mu’aththilah yang diwakili oleh  Mu’tazilah dan tradisionalis-tekstualis-musyabbihah yang diwakili oleh  hanabilah (pengikut Ahmad ibn Hanbal). Namun, kajian sejarah yang  mendalam menunjukkan bahwa pendapat diatas ternyata tidak sepenuhnya  benar, sebab tuduhan tasbih atau musyabbihah itu  ternyata  digunakan oleh mu’tazilah untuk menyerang pendapat Imam Hanbali, Ishaq  ibn Rahawayh dan Yahya ibn Ma’in. Pada hal ibn hanbal dan kawan-kawannya  itu sebenarnya tidak mengakui tasybih dalam Al-qur’an.
Kembali  ke soal munculnya berbagai firqah induk yang kemudian berkembang  menjadi beberapa firqah kecil, nama-nama firqah ada yang dinisabahkan  kepada nama-nama tokohnya dan ada juga yang dikaitkan dengan  doktrin-doktrin pemikirannya. Karena banyaknya firqah tersebut, para  ulama teologi masa lalu berbeda-beda dalam menentukan jumlahnya, baik  jumlah firqah induk maupun firqah cabang.
| 
 | 
AMANS
| MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI | 
 | 
0 komentar:
Posting Komentar